Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Keragaman Pangan Lokal, Masuk Akal atau Delusional?

Kompas.com - 30/10/2023, 08:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Nasi kuning dengan ‘lauk’ mi instan goreng, sudah bukan pemandangan asing lagi di banyak sekolah hingga ke pedalaman Papua.

Baca juga: Indonesia Krisis Konselor Laktasi dan Literasi Gizi

Video viral beberapa waktu yang lalu soal penduduk menukar panen pisang dengan mi instan sama sekali tidak mendapat tanggapan serius dari para pemangku kebijakan, hanya dijadikan konten penuh ungkapan prihatin dari warga media sosial.

Imbauan mengganti nasi dengan sumber makanan pokok lain, akhirnya menjadi pembicaraan seru penuh kontroversial yang tak jarang ditanggapi dengan sarkastis. Masa makan rendang pakai singkong? Kan enggak nyambung ya… - demikian salah satu ungkapan kekesalan warga.

Barangkali, yang perlu kita lakukan justru mengembalikan pangan lokal sesuai dengan tatanan geografis semula: saat umbi, jagung, dan sagu masih menjadi makanan pokok asli di Indonesia Timur.

Sambil jalan, mulai promosikan aneka santapan Indonesia timur ke arah barat, sehingga di tengah festival kuliner dengan mudah kita bisa menikmati papeda bersama ikan kuah kuning.

Sate ulat sagu bukan lagi jadi bulan-bulanan orang Jawa, yang juga diam-diam makan keong sawah – yang bagi etnik lain juga bisa dinilai ‘tidak biasa’.

Begitu pula aneka tawaran investasi yang masuk ke tanah air, perlu dipertimbangan dengan mengedepankan budaya lokal – bukan menerima mentah-mentah, seakan semua yang berbau asing itu lebih baik atau lebih keren.

Di Seoul, Korea Selatan, gerai kopi ternama Amerika yang juga menjamur di negeri kita, menyediakan menu aneka rebusan jagung, kentang, dan ubi yang bisa dinikmati konsumen.

Sementara di sini, euforia kudapan asing bergula tinggi penuh kandungan rafinasi dan ultraproses dipuja-puji.

Baca juga: Pangan Asli yang Terinvasi

Batasi sumber makanan asing demi ketahanan pangan

Salah satu bentuk membela ketahanan pangan, juga dengan membatasi mengalirnya sumber makanan pokok asing berbahan gandum alias terigu – yang semakin membanjiri negri kita.

Bahkan lebih konyol lagi, anjuran makan anak dan bayi yang sedang susah mengunyah nasi justru diarahkan ke roti dan pasta. Ketimbang olahan bubur jagung yang proteinnya amat bagus dan umbi aneka warna dengan kandungan antioksidan prima.

Yang justru perlu menjadi perhatian khusus, juga masalah ‘isu sabotase’: saat kita mau kembali ke pangan utuh yang lebih baik dan tersedia secara lokal, muncul isu-isu miring: mulai dari yang ‘kelihatannya ilmiah’ hingga yang jelas-jelas tak masuk akal.

Mirip seperti gosip seputar konsumsi ikan. Dari mengandung merkuri (padahal beritanya dikutip dari kantor berita asing yang membahas ikan di lautan Atlantik yang bukan perairan kita) hingga penyebab luka tak bisa sembuh dan ‘jadi amis’.

Baca juga: Dari Stunting ke Teh Manis, Apakah Edukasi Kita Miskin Literasi?

Telur pun kebagian berita miring. Mulai dari bisulan, hingga cara masak yang menyebabkan ‘telur beracun’ – ini semua semakin bikin was-was para ibu yang ingin memberi telur ke anaknya.

Jangan sampai, isu antinutrien jagung akhirnya menyebabkan jagung dihina sebagai sumber karbohidrat – hanya karena istilah antinutrien itu tidak dipahami benar, karena jagung yang dimasak apalagi dibuat bubur justru menghilangkan kandungan antinutrien. Lagi pula siapa sih yang mau makan jagung mentah?

Jika pernah ada pergeseran kultur, di mana orang Indonesia jadi ‘biasa makan roti’ di pagi hari, maka mengembalikan budaya kunyah roti ke jagung dan ubi tentu bukan hal yang sulit, karena itu seperti mengembalikan ke normalitas yang pernah ada.

Tinggal masalahnya: apakah ini semua wacana, cuma ‘lucu-lucuan’ sesaat, atau suatu keseriusan yang perlu mendapat dukungan dari akademisi dan pelaku ekonomi. Bukan hanya ramai di media, saat beras masih laku keras walaupun harganya sudah kelewat batas.

Baca juga: Urgensi Pendidikan Gizi Keluarga di Sekolah

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com