Tulisan ini saya buat pada ketinggian lebih dari 10.000 meter di atas permukaan laut dalam penerbangan Timika – Jakarta singgah Makasar.
Berkesempatan bertamu di beberapa posyandu sekaligus berbagi pembekalan gizi, keluarga Papua memberi semangat ekstra untuk tidak berdiam diri dan mengajak lebih banyak orang peduli.
Pencegahan stunting dan penanganan anak yang sudah terlanjur stunting kerap diandaikan sebagai ranah masalah gizi belaka.
Baca juga: Akankah Konsumsi Pangan Lokal Bernasib Kontroversial?
Padahal, kita perlu mengkaji lebih bijak apabila sumber daya manusia Indonesia yang akan menjadi taruhannya.
Gangguan gizi kronik hanyalah apa yang tampak di permukaan. Ibarat rayap yang merusak pintu, kusen dan sudah hampir meruntuhkan kuda-kuda rumah.
Mengusir rayap dengan mengganti kayu yang lapuk atau ‘menyuntik’ lubang-lubang celah rayap bersliweran dengan pestisida, sama sekali tidak menyelesaikan masalah.
Sebab, rayap berkembang biak juga di dalam tanah. Rongga-rongga sarang berisi jutaan telur dan larva rayap siap menyerang setiap saat.
Jangankan rumah bikinan orang, pohon besar nan kuat berumur puluhan tahun pun akan tumbang.
Pengentasan gangguan gizi tidak bisa semata-mata hanya ‘menembak’ sasaran di depan mata dengan tambahan asupan pangan, bahkan mengganti pangan sehari-hari dengan produk industri yang katanya sudah terformulasi. Yang dipahami dengan sudut pandang klinisi.
Mengkaji bagaimana masyarakat, terutama ibu dan anak memilih apa yang mereka makan melibatkan banyak aspek. Termasuk pergeseran budaya – di mana akan semakin banyak pihak mestinya bertanggung jawab.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.