Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Seliweran Tontonan Kekinian soal Gizi, Saatnya Nalar Perlu Diajar

Dan saya adalah tipe ‘pengayom’ akun yang tidak menggunakan jasa ‘mimin’ (staf administrasi), sehingga otomatis semua komentar atau pesan yang masuk, pasti saya sendiri yang jawab.

Semakin memahami betul lika-liku kehidupan para keluarga muda yang rata-rata berpenghasilan menengah ke bawah, saya semakin prihatin dengan literasi gizi mereka.

Sebagai pengguna super aktif media sosial, kelompok usia produktif 25-40 tahun rupanya sungguh-sungguh menimba apa pun yang ingin diketahui lewat aneka aplikasi, yang menurut mereka sarat informasi yang mudah ditangkap.

Sebutlah TikTok, Instagram, dan Facebook. Hampir-hampir tidak memegang buku panduan (dan tidak paham cara mendapatkannya), ibu-ibu muda belajar tentang tumbuh kembang balita hingga cara pemberian makan anak-anaknya melalui apa yang berseliweran di layar pertama berisi sederetan video pendek, yang merupakan salah satu fitur TikTok – terkenal dengan istilah ‘FYP’ alias for you page.

FYP muncul sebagai ‘pekerjaan mesin’ algoritma aplikasi, yang memindai minat pengguna aplikasi sesuai topik yang sering dicari atau dilihat.

Jika seorang ibu awalnya iseng mencari tahu seputar susu atau makanan bayi, maka akan bertubi-tubi ia dihujani aneka tampilan soal itu. Termasuk iklannya.

Termasuk sajian para kreator konten yang begitu getol mengunggah aneka tontonan demi keuntungan alias cuan. Tidak peduli yang diunggah berisi tuntunan atau sekadar jualan.

Menyadari ‘efektivitas’ keviralan suatu informasi di media sosial, profesional kesehatan dan akademisi sudah tak malu-malu ikutan tampil maksimal – bahkan ada segmen webinar atau seminar yang sengaja dipenggal-penggal.

Lebih kurang ajar, tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab, sengaja mengambil untung dari tayangan orang-orang terkenal untuk dijadikan iklan berjualan produk mereka, menggunakan teknologi kecerdasan artifisial.

Sekali lagi: sasaran pembodohan tentunya untuk yang menonton – dan pas sedang gundah mencari solusi instan dari situasi yang ogah dievaluasi.

Jika mau disebut sebagai negara maju, maka kualitas publik kita mengantisipasi aneka seliweran tontonan itu menjadi taruhan.

Masyarakat negara maju yang sesungguhnya, mempunyai literasi yang mumpuni, tidak semudah itu mempercayai informasi.

Di negri ini, pernyataan kontroversial “anak yang mendapat Air Susu Ibu rentan menderita anemia” saja, sudah bikin geger seluruh kepulauan Nusantara.

Bahkan, muncul aneka asumsi ekstrem di masyarakat, seakan-akan semua bayi yang menyusu pada ibunya harus mendapat suplementasi zat besi.

Seakan-akan, bayi yang diberi susu formula kaya zat besi aman sentosa. Seakan-akan Air Susu Ibu kualitasnya begitu buruk, sehingga ASI eksklusif hanya jargon dan cukuplah 6 bulan saja, selanjutnya sambung susu formula.

Semuanya, bagai bola panas liar di kalangan ibu-ibu muda yang gelisah dan takut anaknya stunting karena anemia.

Tidak banyak dokter atau bidan yang terpanggil meluruskan hal di atas. Bahkan, ada yang sengaja memanas-manasi.

Tidak banyak yang memperbaiki informasi, agar tidak semakin terdistorsi. Bahwa anemia pada bayi, bisa akibat ibunya yang saat mengandung juga anemia tanpa dikoreksi.

Anemia pada bayi, juga bisa karena makanan pendamping ASI-nya, yang miskin zat besi.

Ketakutan kekurangan zat besi dan aneka vitamin, membuat para ibu menyerbu etalase toko dengan membabi buta.

Bahkan, sampai ada iklan ‘zat besi bikin anak tinggi’. Kalimat receh yang sarat misinformasi dan sungguh-sungguh butuh diklarifikasi.

Betapa ngerinya, bayi baru berusia 6 bulan sudah minum aneka suplemen dan mineral dengan harapan agar anak ini bebas stunting, punya daya tahan tubuh baik, lekas bicara, lekas jalan, pintar, dan tumbuh tinggi.

Sementara, orangtuanya sama sekali buta soal pola asuh, apalagi pemberian makan bayi dan anak.

Pemahaman gizi makin buram oleh aneka iklan

Baru saja kita memperingati Hari Gizi Nasional yang ke 64. Artinya, sudah 64 tahun bangsa ini sebenarnya sadar gizi, yang mestinya juga melek gizi.

Tapi yang saya amati, justru makin lama pemahaman gizi generasi muda kita semakin suram, dibuat buram oleh aneka iklan produk dan aneka jajanan yang katanya kreatif inovatif tapi membuat mereka konsumtif.

Makanan dan minuman sehari-hari tidak dipandang dari sudut kebutuhan, melainkan kecanduan. Selama tidak bikin keracunan.

Agar kelihatan keren dan kekinian, semangat meniru tidak lagi diragukan. Rak bumbu swalayan hari ini sarat produk kemasan, yang membuat seorang nyonya rumah pintar bikin masakan bulgolgi, teriyaki, yakiniku, katsu, kimbab, black pepper steak, onigiri, pasta bolognaise, atau carbonara, bahkan bayi 6 bulan diperkenalkan pancake keju oleh ibunya.

Antara sedih dan jengkel, menyikapi fenomena di atas – mestinya kita berkaca. Ada apa dengan bangsa ini?

Posyandu di Jawa tidak lagi membagikan mento berisi hati ayam, sebab kadernya sudah keder.

Posyandu di Sulawesi lebih percaya diri membagi susu kemasan dan roti seribuan, ketimbang mengajarkan ibu-ibu muda mencintai bubur Barobbo.

Krisis ketahanan pangan lokal dan karakter nasional sudah waktunya dibenahi. Sebab, ‘aliran internasional’ yang dianut pun tidak memberi kebaikan: keju yang dipakai ibu-ibu kita, ternyata di negri asalnya dihujat sebagai keju palsu alias fake cheese – karena sama sekali jauh dari keju yang sesungguhnya, hanya produk olahan.

Remaja kita yang merasa lebih keren makan kimchi dan menganggap oncom pangan receh, suatu hari akan menyesal.

Sama seperti ketika tempe di negara bule dipuja dan harganya lebih mahal ketimbang daging – baru kita terperangah. Tapi sudah telat.

Bayi-bayi Indonesia dibuat lebih suka makan potato cheese stick saat belajar mengunyah, ketimbang keripik tempe.

Padahal, bikin keripik tempe jauh lebih mudah ketimbang ruwetnya tutorial TikTok membuat kentang goreng keju (yang kejunya pun bukan keju asli).

Meributkan pencegahan stunting, barangkali yang justru perlu kita singkirkan dari warung-warung di kampung itu, produk kemasan yang bikin para ibu malas masak.

Anaknya jadi malas mengunyah. Sulit naik tekstur. Telur dan ikan dilepeh. Di umur 1 tahun masih menyesap bubur pinggir jalan berbau micin, yang bikin kecanduan.

Di usia 2 tahun gigi karies, karena susu kemasan aneka rasa tinggi gula. Dan anaknya tetap tidak makan sesuai usianya.

Batuk, pilek, dan mencret berulang menjadi teman tumbuh yang menikam dari belakang. Ketika anak dinyatakan pendek, sang ibu dengan berang membela diri: “Kami pun tidak tinggi, bagaimana punya anak tinggi?”

Padahal, bisa jadi mereka pun berasal dari riwayat stunting yang telah berkembang menjadi dewasa.

Grafik status tumbuh kembang yang begitu jelas ada di buku panduan nasional KIA (Kesehatan Ibu dan Anak), adalah kurva yang sama berlaku di Eropa, Amerika, Afrika, Australia, dan semua negara di benua Asia.

Artinya, semua anak tanpa peduli etnik genetiknya, hingga usia lima tahun berhak punya tinggi badan yang sama – jika asuhan gizi terjamin optimal sejak ibu hamil hingga anak menyelesaikan ulang tahunnya yang ke lima.

Kapan masyarakat kita menyadari ini?

Semoga peringatan Hari Gizi Nasional tahun depan bukan hanya bikin publik sadar dan melek gizi, tapi juga mendapat informasi, serta hak pangan bergizi, agar anak-anak kita tumbuh tinggi berprestasi.

https://lifestyle.kompas.com/read/2024/01/31/170100520/seliweran-tontonan-kekinian-soal-gizi-saatnya-nalar-perlu-diajar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke