Tulisan ini dibuat pada ketinggian jelajah lebih dari sebelas ribu meter di atas permukaan pulau Sumatra, menuju Jakarta, selepas 2 hari di Aceh Utara. Buat apalagi kalau bukan sosialisasi pencegahan stunting.
Yang dihadapi di Sumatra, beda dengan yang sedang ricuh di pulau Jawa – tepatnya kota Depok – yang ‘kebetulan’ kasus pembagian makanan tambahan bagi anak bergizi kurang, jadi viral di media massa.
Isu hangat digoreng menjelang pemilu, sekaligus menggelitik rasa tidak puas warga terhadap layanan pemerintah. Padahal, yang meributkan sama-sama tidak paham duduk perkara sesungguhnya.
Pemberian Makanan Tambahan (PMT) di Posyandu telah menjadi tradisi, sejak pertama Pos Pelayanan Terpadu ini diperkenalkan di zaman pemerintahan orde baru.
Baca juga: Stunting: Gangguan Gizi Menahun yang Berawal dari Ketidaktahuan Beruntun
Berasal dari rakyat, untuk rakyat, demi kesejahteraan rakyat. Begitu jargonnya. Bentuk kepedulian, gotong royong bersama untuk mengawal ibu hamil dan balita sehat di wilayah pemukiman masing-masing. Jadi, memang bukan suatu ‘organisasi’ bentukan pemerintah atau pemda.
Secara tata laksana, terdapat 4 meja pelayanan: pendaftaran, penimbangan/pengukuran balita, pencatatan hasil, dan konseling.
Biasanya, layanan istimewa ditambah oleh puskesmas pembina dengan vaksinasi dan layanan KB yang dikerjakan oleh bidan atau dokter puskesmas.
Sebagai ‘bonus’ kunjungan, setiap balita mendapat PMT penyuluhan – yang idealnya merupakan contoh kudapan sederhana. Diharapkan, para orangtua bisa mencontoh bagaimana memberi kudapan bermutu bagi anaknya.
Belakangan ini aneka keluhan posyandu bermunculan, karena terjadi perubahan di sana-sini. Kader posyandu misalnya, yang berasal dari masyarakat setempat di bawah pembinaan puskesmas, akhirnya direkrut menjadi kader posyandu di bawah binaan pokja PKK.
Di mana ketua PKK adalah ibu pejabat setempat (istri lurah/camat/bupati/gubernur) yang punya jenjang struktural di bawah kementerian dalam negri.
Kader kesehatan dengan aneka ‘pekerjaan rumah’, kerap merangkap jabatan juga sebagai kader pendamping keluarga dibawah BKKBN, kader pemberdayaan masyarakat desa di bawah Kementerian Desa, bahkan ada juga kader Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang disebut “Perahu Kertas” (Perempuan Hebat untuk Keluarga yang Berkualitas).
Baca juga: Menyusui dan MPASI: Esensi Tandem Pencegahan Stunting sejak Dini
Bicara soal pendanaan posyandu, di zaman awal mula didirikan, posyandu berjalan secara swadana. Artinya, warga memberi sumbangan suka rela yang dimasukkan dalam kotak dana dan dikelola kader untuk pembelian alat tulis, alat penimbangan dan pengukuran, hingga PMT.
Dengan berjalannya waktu, pemerintah mengalokasikan dana operasional, bahkan saat ini dana desa dari Kementerian Desa dapat dianggarkan semaksimal mungkin untuk posyandu: mulai dari pengadaan PMT, peralatan, bahkan insentif kadernya – asal dianggarkan oleh kepala desa dan semua yang terlibat dalam rembuk desa.
Kelurahan kotamadya yang bukan desa pun, mendapat alokasi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Baca juga: Bukan Makanannya yang Harus Diinovasi, tapi Cara Penyampaian Pesannya
Tahun ini, bukan hanya soal anggaran, Kementerian Kesehatan bahkan sudah menyusun 5 level keterampilan kader yang diurai menjadi 25 kompetensi.