Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Pemberian Makanan Tambahan Balita, Solusi atau Adiksi?

Kompas.com - 30/11/2023, 14:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tulisan ini dibuat pada ketinggian jelajah lebih dari sebelas ribu meter di atas permukaan pulau Sumatra, menuju Jakarta, selepas 2 hari di Aceh Utara. Buat apalagi kalau bukan sosialisasi pencegahan stunting.

Yang dihadapi di Sumatra, beda dengan yang sedang ricuh di pulau Jawa – tepatnya kota Depok – yang ‘kebetulan’ kasus pembagian makanan tambahan bagi anak bergizi kurang, jadi viral di media massa.

Isu hangat digoreng menjelang pemilu, sekaligus menggelitik rasa tidak puas warga terhadap layanan pemerintah. Padahal, yang meributkan sama-sama tidak paham duduk perkara sesungguhnya.

Pemberian Makanan Tambahan (PMT) di Posyandu telah menjadi tradisi, sejak pertama Pos Pelayanan Terpadu ini diperkenalkan di zaman pemerintahan orde baru.

Baca juga: Stunting: Gangguan Gizi Menahun yang Berawal dari Ketidaktahuan Beruntun

Berasal dari rakyat, untuk rakyat, demi kesejahteraan rakyat. Begitu jargonnya. Bentuk kepedulian, gotong royong bersama untuk mengawal ibu hamil dan balita sehat di wilayah pemukiman masing-masing. Jadi, memang bukan suatu ‘organisasi’ bentukan pemerintah atau pemda.

Secara tata laksana, terdapat 4 meja pelayanan: pendaftaran, penimbangan/pengukuran balita, pencatatan hasil, dan konseling.

Biasanya, layanan istimewa ditambah oleh puskesmas pembina dengan vaksinasi dan layanan KB yang dikerjakan oleh bidan atau dokter puskesmas.

Sebagai ‘bonus’ kunjungan, setiap balita mendapat PMT penyuluhan – yang idealnya merupakan contoh kudapan sederhana. Diharapkan, para orangtua bisa mencontoh bagaimana memberi kudapan bermutu bagi anaknya.

Belakangan ini aneka keluhan posyandu bermunculan, karena terjadi perubahan di sana-sini. Kader posyandu misalnya, yang berasal dari masyarakat setempat di bawah pembinaan puskesmas, akhirnya direkrut menjadi kader posyandu di bawah binaan pokja PKK.

Di mana ketua PKK adalah ibu pejabat setempat (istri lurah/camat/bupati/gubernur) yang punya jenjang struktural di bawah kementerian dalam negri.

Kader kesehatan dengan aneka ‘pekerjaan rumah’, kerap merangkap jabatan juga sebagai kader pendamping keluarga dibawah BKKBN, kader pemberdayaan masyarakat desa di bawah Kementerian Desa, bahkan ada juga kader Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang disebut “Perahu Kertas” (Perempuan Hebat untuk Keluarga yang Berkualitas).

Baca juga: Menyusui dan MPASI: Esensi Tandem Pencegahan Stunting sejak Dini

Pendanaan dan Kader Posyandu

Bicara soal pendanaan posyandu, di zaman awal mula didirikan, posyandu berjalan secara swadana. Artinya, warga memberi sumbangan suka rela yang dimasukkan dalam kotak dana dan dikelola kader untuk pembelian alat tulis, alat penimbangan dan pengukuran, hingga PMT.

Dengan berjalannya waktu, pemerintah mengalokasikan dana operasional, bahkan saat ini dana desa dari Kementerian Desa dapat dianggarkan semaksimal mungkin untuk posyandu: mulai dari pengadaan PMT, peralatan, bahkan insentif kadernya – asal dianggarkan oleh kepala desa dan semua yang terlibat dalam rembuk desa.

Kelurahan kotamadya yang bukan desa pun, mendapat alokasi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Baca juga: Bukan Makanannya yang Harus Diinovasi, tapi Cara Penyampaian Pesannya

Tahun ini, bukan hanya soal anggaran, Kementerian Kesehatan bahkan sudah menyusun 5 level keterampilan kader yang diurai menjadi 25 kompetensi.

Kementerian Kesehatan menyusun 5 level keterampilan kader yang diurai menjadi 25 kompetensi. dok. pribadi Kementerian Kesehatan menyusun 5 level keterampilan kader yang diurai menjadi 25 kompetensi.

Perjalanan panjang dan cukup menantang untuk ‘merevitalisasi’ kader sebagai tiang posyandu, mengingat yang mau jadi kader saja kebanyakan ibu-ibu yang telah sepuh dan sudah punya ‘pakem’ tersendiri -- yang sulit diubah saat menjalankan tugasnya.

Mulai dari cara menimbang, menggunakan alat yang biasa dipakai, memberi ‘konseling’ sesesuai pendapat dan pengalamannya sendiri, hingga perkara pembagian PMT.

Tidak terpaparnya kader dengan informasi kesehatan terkini dan kaidah praktik yang baik soal pemberian makan bayi dan anak, membuat posyandu justru rentan ‘tercemar’ jajanan tak berkualitas ala mini market dengan asumsi kepraktisan.

Atau ada juga jajan pasar manis warna warni, yang akhirnya menuai protes para ibu yang sudah lebih teredukasi dan melek literasi.

Pekerjaan kader kian berat dengan munculnya pekerjaan baru, yakni PMT pencegahan stunting, yang petunjuk teknisnya cukup detil disusun oleh Kementerian Kesehatan, ditujukan bagi balita dengan berat badan kurang hingga gizi kurang.

Baca juga: Kadus, Kapuskes, dan Ketua TP PKK, Pahlawan Sejati Pencegahan Stunting

Pelaksanaannya dikelola langsung oleh dinas kesehatan setempat, dengan anggaran yang jumlahnya tidak main-main.

Kepedulian pemerintah dengan membagi makanan ini, seharusnya secara teknis diikuti dengan edukasi, konseling, dan pemberian contoh pembuatan makanannya oleh kader kepada orangtua subjek penerima bantuan.

Dengan kata lain, anggaran yang digunakan tentu tidak hanya untuk pengadaan makanannya – sebab biaya transportasi mengantar makanan hingga ke rumah warga, tidak mungkin merogoh kocek kader, tidak bisa diandaikan juga kader jalan kaki menghampiri warga satu per satu. Mereka bukan malaikat bersayap yang bisa terbang sendiri.

Begitu pula upaya memberi edukasi dan mencontohkan pembuatan PMT, bukannya tidak menyerap waktu dan tenaga.

Alhasil kasus viral Depok muncul. Warga protes, karena harapan beda jauh dari kenyataan. Rupa bola nasi dan tahu ‘berenang’ dalam lautan sop bening dengan sayur, dianggap keterlaluan.

Tentu saja, sebab tidak dijabarkan komposisinya. Belum lagi bicara kalori – yang terlihat hanya onggokan pangan yang tidak ‘instagramable’, menuai curiga dan syak wasangka.

Apalagi jika dibandingkan dengan PMT wilayah lain, yang ‘katanya’ menu lengkap tiap hari, kelihatan enak, bahkan nasinya dicetak bentuk beruang lucu.

Masyarakat tidak membaca juknis, tidak paham beda progam 6 hari kudapan dan sehari menu lengkap. Lebih kisruh lagi, jika PMT tersebut dianggap pengganti makanan sehari-hari, yang tiga kali makan itu.

Baca juga: Indonesia Krisis Konselor Laktasi dan Literasi Gizi

Solusi Pencegahan Stunting

Apakah program bagi-bagi makanan ini menyelesaikan masalah gizi kurang dan berat badan tidak naik? Ya dan tidak.

Sebab, yang disasar adalah anaknya. Bukan bagaimana kondisi anaknya. Dari pengalaman di salah satu kabupaten di Jawa Tengah, kemampuan anak dengan gizi kurang untuk menghabiskan seporsi makanan, berbeda dengan anak yang beratnya masih dalam kategori ‘tidak naik’ saja.

Balita dengan gizi kurang, biasanya sudah mengalami masalah berlarut-larut. Mulai dari anemia, gangguan oromotor, ketidakmampuan mengunyah karena gigi terlanjur karies tanpa penanganan, hingga penyakit kronik yang diderita seperti TBC.

Atau bahkan, orangtua sudah terlanjur pasrah dengan memberi anak jajanan – asal mau makan. Semua itu, berdampak pada nafsu makan buruk bagi anak yang bersangkutan.

Baca juga: Promosi Kesehatan: Iklan Layanan Masyarakat yang Ketinggalan

Jadi, selain pendekatan spesifik pencegahan stunting dengan asupan gizi yang benar, pendekatan sensitif yang justru mendongkrak keberhasilan penanggulangan stunting sebesar 70%, juga perlu mendapat perhatian khusus.

Konvergensi penanganan stunting lintas kementerian atau sektor harus menjadi jejaring kuat, karena setiap program di masing-masing dinas atau kementerian, berfokus pada satu masalah yang saling memberi kontribusi.

Ketimbang kolaborasi tiap sektor dengan pelaku usaha -- yang cenderung punya agenda saat berdonasi, mulai dari ajang promosi tanpa pemberdayaan masyarakat hingga meningkatkan gairah membeli.

Apalagi, hal yang amat disambut baik generasi orangtua baru, yang dituding ‘generasi medsos gas pol’-- tinggal beli bubur kemasan atau pinggir jalan, minimal berburu aneka resep buat anaknya lekas gemuk dan tinggi, tanpa mau berupaya telaten menjadi orangtua yang layak jadi panutan.

Yang tersinggung jika anaknya disebut stunting, tapi berebut jika dibagikan aneka produk mahal buat anak stunting. Padahal, ekonomi tidak sedang baik-baik saja.

Sedangkan hasil pangan lokal jauh lebih menjanjikan – sebagaimana kementerian desa selalu menekankan peningkatan ekonomi rakyat, sekaligus meningkatkan kualitas manusianya dengan gizi yang mumpuni.

Jadi, PMT berbasis pangan lokal adalah gerakan pemberdayaan yang mesti didukung. Dengan perencanaan yang matang, pelaksanaan yang komprehensif, hasilnya pasti memberi manfaat luar biasa bagi masyarakat, yang diedukasi bernalar, bertanggungjawab, mau terlibat untuk berubah.

Bukan hanya menadahkan tangan dan berteriak sebagai korban, jika yang didapat tidak sesuai harapan.

Baca juga: Keragaman Pangan Lokal, Masuk Akal atau Delusional?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com