Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Pemberian Makanan Tambahan Balita, Solusi atau Adiksi?

Kompas.com - 30/11/2023, 14:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Perjalanan panjang dan cukup menantang untuk ‘merevitalisasi’ kader sebagai tiang posyandu, mengingat yang mau jadi kader saja kebanyakan ibu-ibu yang telah sepuh dan sudah punya ‘pakem’ tersendiri -- yang sulit diubah saat menjalankan tugasnya.

Mulai dari cara menimbang, menggunakan alat yang biasa dipakai, memberi ‘konseling’ sesesuai pendapat dan pengalamannya sendiri, hingga perkara pembagian PMT.

Tidak terpaparnya kader dengan informasi kesehatan terkini dan kaidah praktik yang baik soal pemberian makan bayi dan anak, membuat posyandu justru rentan ‘tercemar’ jajanan tak berkualitas ala mini market dengan asumsi kepraktisan.

Atau ada juga jajan pasar manis warna warni, yang akhirnya menuai protes para ibu yang sudah lebih teredukasi dan melek literasi.

Pekerjaan kader kian berat dengan munculnya pekerjaan baru, yakni PMT pencegahan stunting, yang petunjuk teknisnya cukup detil disusun oleh Kementerian Kesehatan, ditujukan bagi balita dengan berat badan kurang hingga gizi kurang.

Baca juga: Kadus, Kapuskes, dan Ketua TP PKK, Pahlawan Sejati Pencegahan Stunting

Pelaksanaannya dikelola langsung oleh dinas kesehatan setempat, dengan anggaran yang jumlahnya tidak main-main.

Kepedulian pemerintah dengan membagi makanan ini, seharusnya secara teknis diikuti dengan edukasi, konseling, dan pemberian contoh pembuatan makanannya oleh kader kepada orangtua subjek penerima bantuan.

Dengan kata lain, anggaran yang digunakan tentu tidak hanya untuk pengadaan makanannya – sebab biaya transportasi mengantar makanan hingga ke rumah warga, tidak mungkin merogoh kocek kader, tidak bisa diandaikan juga kader jalan kaki menghampiri warga satu per satu. Mereka bukan malaikat bersayap yang bisa terbang sendiri.

Begitu pula upaya memberi edukasi dan mencontohkan pembuatan PMT, bukannya tidak menyerap waktu dan tenaga.

Alhasil kasus viral Depok muncul. Warga protes, karena harapan beda jauh dari kenyataan. Rupa bola nasi dan tahu ‘berenang’ dalam lautan sop bening dengan sayur, dianggap keterlaluan.

Tentu saja, sebab tidak dijabarkan komposisinya. Belum lagi bicara kalori – yang terlihat hanya onggokan pangan yang tidak ‘instagramable’, menuai curiga dan syak wasangka.

Apalagi jika dibandingkan dengan PMT wilayah lain, yang ‘katanya’ menu lengkap tiap hari, kelihatan enak, bahkan nasinya dicetak bentuk beruang lucu.

Masyarakat tidak membaca juknis, tidak paham beda progam 6 hari kudapan dan sehari menu lengkap. Lebih kisruh lagi, jika PMT tersebut dianggap pengganti makanan sehari-hari, yang tiga kali makan itu.

Baca juga: Indonesia Krisis Konselor Laktasi dan Literasi Gizi

Solusi Pencegahan Stunting

Apakah program bagi-bagi makanan ini menyelesaikan masalah gizi kurang dan berat badan tidak naik? Ya dan tidak.

Sebab, yang disasar adalah anaknya. Bukan bagaimana kondisi anaknya. Dari pengalaman di salah satu kabupaten di Jawa Tengah, kemampuan anak dengan gizi kurang untuk menghabiskan seporsi makanan, berbeda dengan anak yang beratnya masih dalam kategori ‘tidak naik’ saja.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com