Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Seliweran Tontonan Kekinian soal Gizi, Saatnya Nalar Perlu Diajar

Kompas.com - 31/01/2024, 17:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Posyandu di Sulawesi lebih percaya diri membagi susu kemasan dan roti seribuan, ketimbang mengajarkan ibu-ibu muda mencintai bubur Barobbo.

Krisis ketahanan pangan lokal dan karakter nasional sudah waktunya dibenahi. Sebab, ‘aliran internasional’ yang dianut pun tidak memberi kebaikan: keju yang dipakai ibu-ibu kita, ternyata di negri asalnya dihujat sebagai keju palsu alias fake cheese – karena sama sekali jauh dari keju yang sesungguhnya, hanya produk olahan.

Baca juga: Kadus, Kapuskes, dan Ketua TP PKK, Pahlawan Sejati Pencegahan Stunting

Remaja kita yang merasa lebih keren makan kimchi dan menganggap oncom pangan receh, suatu hari akan menyesal.

Sama seperti ketika tempe di negara bule dipuja dan harganya lebih mahal ketimbang daging – baru kita terperangah. Tapi sudah telat.

Bayi-bayi Indonesia dibuat lebih suka makan potato cheese stick saat belajar mengunyah, ketimbang keripik tempe.

Padahal, bikin keripik tempe jauh lebih mudah ketimbang ruwetnya tutorial TikTok membuat kentang goreng keju (yang kejunya pun bukan keju asli).

Meributkan pencegahan stunting, barangkali yang justru perlu kita singkirkan dari warung-warung di kampung itu, produk kemasan yang bikin para ibu malas masak.

Anaknya jadi malas mengunyah. Sulit naik tekstur. Telur dan ikan dilepeh. Di umur 1 tahun masih menyesap bubur pinggir jalan berbau micin, yang bikin kecanduan.

Di usia 2 tahun gigi karies, karena susu kemasan aneka rasa tinggi gula. Dan anaknya tetap tidak makan sesuai usianya.

Batuk, pilek, dan mencret berulang menjadi teman tumbuh yang menikam dari belakang. Ketika anak dinyatakan pendek, sang ibu dengan berang membela diri: “Kami pun tidak tinggi, bagaimana punya anak tinggi?”

Baca juga: Pangan Asli yang Terinvasi

Padahal, bisa jadi mereka pun berasal dari riwayat stunting yang telah berkembang menjadi dewasa.

Grafik status tumbuh kembang yang begitu jelas ada di buku panduan nasional KIA (Kesehatan Ibu dan Anak), adalah kurva yang sama berlaku di Eropa, Amerika, Afrika, Australia, dan semua negara di benua Asia.

Artinya, semua anak tanpa peduli etnik genetiknya, hingga usia lima tahun berhak punya tinggi badan yang sama – jika asuhan gizi terjamin optimal sejak ibu hamil hingga anak menyelesaikan ulang tahunnya yang ke lima.

Kapan masyarakat kita menyadari ini?

Semoga peringatan Hari Gizi Nasional tahun depan bukan hanya bikin publik sadar dan melek gizi, tapi juga mendapat informasi, serta hak pangan bergizi, agar anak-anak kita tumbuh tinggi berprestasi.

Baca juga: Dari Stunting ke Teh Manis, Apakah Edukasi Kita Miskin Literasi?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com