Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Stop Normalisasi "Catcalling", Pelecehan Bukan Candaan!

Kompas.com - 21/02/2024, 13:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Anastasya Dumyanti dan Agustina, M.Psi., Psikolog*

ISTILAH "catcalling" mungkin sudah tidak asing lagi bagi kita. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan catcalling?

Catcalling adalah fenomena yang sangat lekat dengan orang dewasa bahkan remaja, dan merupakan istilah yang sering didengar, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta.

Catcalling adalah bentuk komunikasi di mana pelaku menyampaikan emosi verbal kepada korbannya, seperti bersiul, mengomentari bentuk fisik korban dengan menyerang karakteristik seksual korban.

Catcalling dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai bentuk, yang paling populer adalah bersiul dengan nada menggoda dan komentar bernada seksual serta menggoda seperti "Hai cantik, mau ke mana nih? Sendirian aja? Mau ditemenin enggak sama abang?"

Perilaku seperti ini menjadi masalah karena masyarakat memiliki kesalahpahaman apakah catcalling merupakan lelucon atau pelecehan seksual, terutama bagi perempuan.

Sebaliknya, komentar pelaku lebih seperti intimidasi dan terkadang memiliki maksud dan tujuan tertentu. Ketika korban dan pelaku berada di tempat sempit, seperti gang, dan jumlah korban lebih sedikit dari jumlah pelaku, pelaku akan lebih berani menggoda.

Setiap orang berpotensi menjadi korban maupun pelaku catcalling. Catcalling hampir selalu dilakukan oleh pria. Namun, tidak menutup kemungkinan hal ini juga dilakukan oleh perempuan.

Menurut survei tentang pelecehan seksual di tempat umum, tiga dari lima perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di tempat umum, sementara satu dari setiap sepuluh laki-laki pernah mengalaminya.

Pada akhir 2018, change.org, perempuan, Lentera Sintas Indonesia, dan Jakarta Feminist Cross Society (JFDG) mensponsori jajak pendapat yang melibatkan 62.000 responden dari berbagai kota di Indonesia.

Menurut survei tersebut, 60 persen pelecehan seksual di tempat umum bersifat verbal, seperti siulan, suara kecupan, komentar tentang bentuk tubuh, dan komentar sensual.

Pelecehan seksual dalam bentuk siulan menempati urutan pertama dengan 17 persen, diikuti oleh komentar tentang bentuk tubuh sebanyak 12 persen. Lalu, tindakan menggoda di urutan keempat dengan 9 persen dan pernyataan bernada seksi di urutan kelima dengan 7 persen.

Di Indonesia, catcalling dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Komnas Perempuan menyebut catcalling dilarang oleh Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Meremehkan dan ketidaktahuan akan fenomena ini berdampak buruk bagi tatanan masyarakat.

Kepekaan masyarakat terhadap catcalling dan pelecehan verbal di tempat umum sangat minim, sehingga mengakibatkan reaksi masyarakat yang relatif apatis ketika menemukan pelanggaran ini. Orang dengan penyakit ini merasa sulit untuk berada di tempat umum.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com