Editor
KOMPAS.com - Istilah brain rot sedang menjadi perbincangan hangat di media sosial, terutama di kalangan Gen Alpha—generasi yang lahir antara tahun 2010 hingga 2024.
Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan "pembusukan otak," sebuah kondisi yang dikaitkan dengan konsumsi berlebihan konten digital tanpa makna atau konten receh.
Lebih lanjut, berikut sejumlah fakta penting tentang brain rot yang perlu kamu ketahui lebih lanjut.
Baca juga: Ramai di Kalangan Gen Alpha, Apa Itu Brain Rot?
Brain rot mungkin hanya sebuah istilah "gaul" yang dibuat oleh anak-anak muda. Namun, fenomenanya benar-benar terjadi.
Menurut Ilmuwan Neurosains dan CEO Sekolah Otak Indonesia, Taufiq Pasiak, fenomena ini memiliki dasar ilmiah yang nyata dan bisa memengaruhi kesehatan otak.
"Brain Rot adalah kelebihan beban kognitif otak akibat aktivitas digital (misalnya, media sosial) berlebihan, tapi tanpa makna," ujarnya kepada Kompas.com, Sabtu (21/12/2024).
Brain rot terjadi akibat kelebihan beban kognitif yang dipicu oleh konsumsi berlebihan konten instan, seperti video pendek di TikTok atau Instagram Reels.
Aktivitas ini sering melibatkan konten "receh" atau hiburan ringan tanpa nilai edukasi yang signifikan.
Taufiq menjelaskan bahwa otak manusia memiliki sistem pengimbalan (reward system) yang bekerja dengan melepaskan dopamin saat seseorang menikmati sesuatu yang menyenangkan.
Baca juga: 6 Cara Mencegah Brain Rot, Jangan Malas Lakukan Aktivitas Fisik
Namun, konsumsi konten receh yang terus-menerus dapat membuat otak bergantung pada hiburan instan dan menghindari aktivitas yang membutuhkan usaha atau konsentrasi.
Brain rot tidak menyebabkan kerusakan fisik pada otak, tetapi memiliki dampak serius pada kemampuan kognitif dan emosional. Berikut beberapa dampaknya:
Brain rot tidak berakibat fatal, seperti membuat otak menjadi rusak secara fisik.
Namun, jika dilakukan dalam waktu lama, tetap memberikan sejumlah dampak bagi otak.
"Beban kognitif ini memang tidak langsung membuat otak rusak secara fisik, meskipun jika dicermati secara molekuler, akan ditemukan perubahan," tuturnya.
Tidak semua konten berdurasi pendek adalah konten "receh". Menurut Taufiq, ciri-ciri konten receh bisa meliputi: