Desember lalu Nike mengumumkan sebuah rencana untuk memecahkan rekor lari marathon yang disebut sebagai inisiatif Breaking2. Tidak sekedar memecahkan rekor, namun catatan baru itu diharapkan tercapai dalam waktu kurang dari 2 jam, sesuai nama inisiatifnya.
Hingga saat ini tidak ada seorang pun yang pernah menyelesaikan marathon dengan waktu di bawah 2 jam. Karenanya rencana itu oleh sebagian orang dianggap sebagai usaha untuk melampaui kemampuan manusia, sehingga muncul pertanyaan: Bagaimana melakukannya?
Hal pertama yang harus dipikirkan adalah soal lokasi. Tempat berlari ini akan sangat menentukan tercapai atau tidaknya misi. Namun perlu dipertimbangkan juga bahwa lokasi ini mestinya menyerupai jalur marathon sebenarnya. Lokasi yang medannya menurun misalnya, mungkin akan memunculkan kritik dan berakibat pemecahan rekor itu diragukan.
Mempertimbangkan hal-hal seperti karakteristik medan, ketinggian, temperatur, serta tekanan udara, maka Breaking2 akan dilakukan pada hari Sabtu 6 Mei 2017 pukul 5.45 pagi di jalur balap sepanjang 2,4 kilometer di Autodromo Nazionale Monza di Italia. Menurut Nike, jalur itu pas untuk meniru lintasan marathon sesungguhnya.
Dengan cara demikian Nike berharap bisa menguji teknologi yang digunakan pada sepatunya, untuk kemudian diterapkan pada sepatu-sepatu lari lain sehingga kita pun memiliki kesempatan untuk mencetak rekor kita sendiri, entah itu mencapai finish di bawah 4 jam pada lari marathon, atau 20 menit pada lari 5K.
Lalu apakah teknologi yang dimaksud itu? Tentu saja sepatu larinya: Nike Zoom Vaporfly Elite. Sepatu yang akan dikenakan tiga pelari yakni Eliud Kipchoge, Zersenay Tadese, Lelisa Desisa itu dilengkapi sejumlah teknologi baru yang meskipun nampak kecil namun diklaim bisa mengubah jalannya permainan.
Menurut keyakinan yang ada, sepatu lari jarak jauh mestinya berbobot ringan sehingga tidak terlalu tebal. Namun bentuk bantalan tipis memiliki kekurangan karena pengembalian energinya tidak maksimal. Nah pada sepatu ini, para pelari akan mendapatkan keduanya, bantalan empuk dan pengembalian energi yang besar.
Menurut Runner's World, sepatu itu mengembalikan 85 persen energi saat pelari menjejakkan kakinya. Sejauh ini rekor pengembalian energi dipegang lapisan busa Boost yang digunakan oleh Adidas, yang menurut uji coba Runner's World mencapai 70 persen.
“Kekakuan sepatu akan memberi keuntungan bagi pelari,” ujar Bret Schoolmeester, Senior Director of Global Running Footwear, Fast dalam rilis yang dikirimkan Nike, Kamis (4/5/2017). “Namun bantalan yang terlalu kaku akan memindahkan beban dari kaki ke betis, yang menyebabkan kelelahan pada jarak jauh. Oleh karenanya pada sepatu ini kami mengembangkan bentuk khusus untuk menghilangkan masalah itu.”
Dr. Geng Luo, peneliti senior di Nike Sport Research Lab menambahkan, “Tujuan penggunaan plat ini adalah untuk mengurangi hilangnya tenaga saat pelari menekuk jarinya. Namun lengkungan pada plat dirancang agar bebannya tidak beralih ke betis.”
Fitur lain yang mencolok dari sepatu ini adalah tumit aerodinamiknya yang berbentuk lancip ke belakang seperti sirip ikan hiu. Bentuk yang juga diharapkan menambah kecepatan berlari.
Nah dengan sepatu itu, mampukah para pelari memecahkan rekor marathon di bawah 2 jam? Akankah Nike Zoom Vaporfly Elite menjadi sepatu marathon tercepat di dunia? Kita tunggu hasilnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.