Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kisah Lulantatibu, Batik Pemersatu Suku Dayak di Perbatasan

Suku Dayak tersebut masing-masing Dayak Lundayeh, Dayak Tagalan, Dayak Taghol, Dayak Tidung dan Bulungan. Batik Lulantatibu sendiri saat ini telah dipatenkan dan resmi menerima HAKI pada bulan Mei 2017.

Batik Lulantatibu yang memiliki corak gabungan dari motif 4 etnis Suku Dayak tersebut dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten Nunukan sejak tahun 2010.

”Tahun 2010, batik menjadi warisan dunia UNESCO dan setiap daerah diwajibkan punya motif batik. Pemkab Nunukan waktu itu kemudian menggali dan mendata motif-motif yang dimiliki oleh 4 etnis Suku Dayak yang ada di Nunukan. Kita data dan gali filosofi di balik motif tersebut,” ujar Wahyu Puji Lestari, Kasie Kemitraan dan Ekonomi Kreatif Dinas Kebudayaan Pariwisata dan Olahraga Kabupaten Nunukan.

Upaya pencarian corak untuk batik Lulantatibu dibutuhkan beberapa tahun mengingat ada 4 etnis Suku Dayak di Kabupaten Nunukan yang memiliki corak dengan ciri khas suku masing masing.

Dayak Lundayeh yang menempati wilayah bagian Utara Kabupaten Nunukan memiliki corak khas gambar tempayan yang dalam bahasa setempat dinamai arit tabuk. Filosofi dari arit tabuk adalah melindungi.

Tempayan sendiri dalam kehidupan suku Dayak Lundayeh selain digunakan sebagai tempat menyimpan bahan makanan dan harta benda, juga merupakan alat untuk menyimpan jazad manusia. Sehingga tidak heran jika dalam berbagai kerajinan tangan suku Dayak Lundayeh akan terdapat goresan perpaduan garis lurus dan lengkung sebagai simbol arit tabuk.

Sementara dari Suku Dayak Taghol yang mendiami wilayah Kecamatan Lumbis, corak yang digambarkan dengan perpaduan 4 garis membentuk tameng sangat dominan. Tameng bagi Suku Dayak Taghol memilik arti perlindungan.

Simbol tameng bagi suku Dayak Taghol juga berarti ketahanan. Meski semua suku Dayak di Kabupaten Nunukan memiliki goresan tameng, namun tameng suku Dayak Taghol memiliki corak yang sangat kuat.

Sementara dari Suku Dayak Tagalan diambil goresan perpaduan 4 buah lengkung yang disebut pinduku. Arti kata pinduku dalam bahasa Suku Dayak Tagalan merupakan persatuan. Corak pinduku selain terdiri dari 4 garis lengkung juga terdapat lingkaran di sekeliling garis lengkung serta aksen titik-titik kecil.

Dari Suku Dayak Tidung Bulungan corak yang diambil sebagai motif batik lulantatibu berupa goresan bunga raya. Bunga raya mengandung filosofi kemakmuran. Bunga raya dalam keseharian Suku Dayak Tidung Bulungan juga difungsikan sebagai obat yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit.

Setelah berhasil memadukan berbagai motif dari suku yang ada di Kabupaten Nunukan untuk membentuk batik lulantatibu, pemerintah daerah kemudian menggelar lokakarya yang mengundang perwakilan seluruh warga dayak di Kabupaten Nunukan pada tahun 2011.

Dalam lokakarya tersebut, seluruh perwakilan suku dayak menyetujui ada 4 motif orisinil milik masing-masing suku untuk dipatenkan menjadi batik. Pemerintah daerah kemudian mulai mendaftarkan corak batik lulantatibu untuk mendapatkan hak paten.

Hak paten diperoleh dalam waktu lebih dari 7 tahun, karena selain persyaratan administrasi, pengurusan hak paten juga dipengaruhi pasang surutnya keuangan pemerintah daerah. Pengurusan Haki sempat terhenti pada tahun 2013 dan baru dilanjutkan pengurusannya pada tahun 2016.

Akhirnya pada bulan Mei 2017, batik corak lulantatibu berhasil mendapat paten. ”Yang kita patenkan motif dari masing masing suku dayak bukan corak batiknya,” imbuh Wahyu.

Berdayakan UMKM

Selama mengembangkan batik lulantatibu pada tahun 2010, pemerintah daerah telah membina sejumlah usaha kecil menengah UMKM untuk mempelajari dan memproduksi batik itu.

Pemerintah daerah bahkan mengadakan rumah batik untuk mempercepat pemunculan batik itu sambil melakukan pembinaan terhadap UMKM. Namun pada tahun 2013 program rumah batik terhenti.

Rencananya pemerintah daerah akan kembali membuka rumah batik pada akhir tahun 2017 agar pengembangan batik lulantatibu bisa berkelanjutan setelah mendapat hak paten. “Kita akan gunakan bangunan perumahan dewan yang tidak difungsikan tahun ini,” ujar Rasna Kabid Pemasaran dan Ekonomi Kreatif Dinas Pariwisata Kabupaten Nunukan.

Pemerintah daerah juga akan mewajibkan semua PNS dan siswa sekolah mengenakan batik lulantatibu setiap hari Kamis. Terkait ketersediaan bahan batik, pemerintah daerah akan menggandeng UMKM yang ada sehingga ekonomi kerakyatan dan kelestarian batik lulantatibu tetap berjalan.

Dinas Pariwisata Kabupaten Nunukan juga membebaskan setiap SKPD maupun sekolah untuk mengembangkan sendiri motif batik yang akan mereka kenakan. “UMKM nanti yang akan menyediakan kebutuhan batik untuk seragam baik PNS maupun siswa sekolah,” imbuh Rasna.

Pewarna alam

Banyaknya bahan yang bisa dimanfaatkan untuk pewarnaan alami di wilayah perbatasan akan dimanfaatkan agar menghasilkan batik bernilai tinggi. “Batik go green nilai jualnya lebih tinggi daripada batik yang dihasilkan dari pewarnaan sintetis. Namun bahannya agak mahal dan prosesnya juga agak lama,” ujar Wahyu.

Untuk menghasilkan warna merah, perajin memanfaatkan kayu secang. Sementara kunyit dipakai untuk menghasilkan warna jingga, daun jambu menghasilkan warna coklat muda, dan daun jati akan menghasilkan merah maron. Untuk penguatan warna dan pegikat warnanya digunakan tawas.

Kerumitan proses justru terjadi saat proses penghasilan warna, dimana campuran bahan pewarna dan campuran tawas sangan menentukan hasil akhir. “Rumitnya itu kalau kita belum pandai, umpama kita dapat pesanan 10 baju itu warnanya bisa beda beda karena pengaruh takaran campuran,” kata Wahyu.

Batik Lulantatibu sendiri selain menjadi cerminan keberagaman suku di Kabupaten Nunukan juga merupakan simbol kebersamaan antar suku yang mendiami kawasan di wilayah perbatasan tersebut.

Perbedaan goresan yang dimiliki oleh masing masing suku disatukan menjadi rangkaian motif batik yang menghasilkan keindahan. Batik ini menjadi semangat berdampingan untuk kehidupan yang lebih baik.

https://lifestyle.kompas.com/read/2017/11/13/201306720/kisah-lulantatibu-batik-pemersatu-suku-dayak-di-perbatasan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke