Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ketika Hasil Panen Sekadar Komoditi, Bukan untuk Konsumsi Demi Gizi

Dengan memahami banyak hal tentang kemajuan fisik bangsa kita, penghargaan saya semakin tinggi terhadap para pemangku amanah yang hari ini mengurus negri tanpa kenal lelah.

Satu sesal saya, tidak banyak orang mempunyai peluang untuk memperoleh pemahaman mendalam mengapa kita masih perlu berhutang, mengapa impor tetap terjadi dan mengapa pasang surut ekonomi terus terjadi.

Pikiran pendek selalu mengandaikan negeri ini berutang, karena pendapatan kurang. Padahal, ada perhitungan lain yang mendasari kepentingan ‘berutang’ itu.

Berutang menjadi salah dan rakyat boleh marah jika utangan itu digunakan untuk konsumsi. Seperti ‘ngutang’ warung sebelah demi perut lapar perlu diisi.

Tapi berutang bisa menjadi cara cerdas untuk investasi, jika digunakan untuk membangun sesuatu yang akan memberi manfaat jauh lebih besar di kemudian hari – bahkan menghasilkan lebih dari jumlah yang terutang.

Namun ada satu hal yang amat mengganggu benak saya, terlepas dari gencarnya pembangunan infrastruktur dan menggiatkan orang mendirikan sekolah hingga universitas.

Hal mengganggu itu juga ditampilkan Menteri Keuangan dalam paparannya: Data PISA (Programme for International Students Assessment) yang digagas oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) menunjukkan skor pelajar Indonesia amat rendah, nomor 63 dari 69 negara yang dievaluasi.

Penguasaan sains, membaca dan matematika yang begitu rendah mengandaikan generasi muda kita bisa membaca sesuai apa yang tertulis, tapi tidak memahami apa yang dibacanya.

Dengan kata lain, hasil belajar yang didapatkan di tanah air pantaslah tidak mendapat pengakuan setara di negeri orang.

Jika tes yang melibatkan hal-hal pragmatis empiris saja menghasilkan data seperti itu, lalu bagaimana dengan uji kompetensi yang berkaitan dengan pemahaman lain yang lebih tinggi?

Sedih rasanya jika hanya seorang Sri Mulyani sang menteri ekonomi yang bisa membaca ‘yang tak tersirat’ – berupa analisa keuangan negara sekian puluh tahun ke depan, sementara sembilan puluh persen rakyat lainnya hanya bisa menghitung saldo pemasukan dan pengeluaran saja.


Analogi yang sama di ranah kesehatan, saat hanya segelintir orang yang mampu menghargai makna upaya promotif dan preventif, sementara sebagian besar rakyat masih mengandalkan berobat semata di saat sakit. Barangkali, tidak banyak pula petinggi kita yang paham makna pangan sehat.

Dikiranya pangan sehat semata karena bebas pengawet dan pewarna serta lulus uji BPOM. “Sehat” pula untuk dikonsumsi setiap hari. Aduh.

Setiap kali saya ceramah, seminar, kuliah tamu tentang pangan sehat dan gerakan masyarakat hidup sehat sesuai Inpres no 1 tahun 2017 itu yang menganjurkan perbanyak makan sayur dan buah – selalu saya awali dengan pertanyaan sederhana,”Mengapa kita perlu makan sayur dan buah?”

Jawabannya klasik, kuno, persis seperti saya masih SMA 38 tahun yang lalu: karena mengandung serat, vitamin, mineral (masih untung ditambah antioksidan). Lah, seratnya buat apa? Buang air.

Mendengar jawaban ini rasanya membuat saya ingin bunuh diri. Bahkan, tidak banyak dokter yang bisa menjelaskan bahwa serat yang mengikat gula dalam bahan makanan alami justru membuat gula lambat dicerna, dan tubuh tidak ‘syok’ dengan lonjakan gula berlebih.

Jika ini semua tidak dipahami, maka habislah fungsi asupan sayur dan buah. Tak heran bermunculan kedai jus, dan berbagai olahan sayur dan buah cara orang asing yang mulai menuai untung dan berujung buntung: percepatan terjadinya diabetes dan penyakit sindroma metabolik akibat kegilaan pangan olahan.

Kekonyolan yang sama terlihat saat sayur dibuat keripik, jamur digoreng garing bahkan dibuat bakwan.

Saat kita masih sumringah membangun ekonomi dan infrastruktur, tanpa menyadari bayangan risiko di balik pembangunan fisik, maka sebenarnya kita sedang membangun jurang kelam.

Desa terpencil yang mendadak menjadi terang benderang dan mobil berseliweran di jalan mulus, akan mengundang geliat ekonomi – saat pasar berubah menjadi mini market – dan pisang kukus diganti biskuit kemasan.

Ketika senja menjelang, bacaan sekolah dan pekerjaan rumah digeser tontonan televisi yang juga sama sekali tidak mendidik.

Lima belas iklan pangan industri dalam satu jam siaran televisi acara anak, menghipnotis mereka setiap hari.


Sementara itu, data kementerian kelautan dan perikanan menyebut, beberapa jenis ikan kita termasuk kerapu sudah kebablasan ditangkap dari jumlah semestinya. Yang aneh, anak-anak nelayan tetap saja menderita gangguan gizi bahkan stunting.

Panen raya, jumlah sayur tak terhitung, buah melimpah ruah – sangat tidak masuk akal ternyata 93.5 persen penduduk Indonesia terdata tidak cukup mengonsumsi sayur dan buah. Apa arti ini semua?

Kekayaan negeri dan bangsa ternyata hanya dianggap sebagai komoditi, kulakan penghasil rupiah, bukan bahan konsumsi untuk kebutuhan gizi. Kemakmuran secara fisik berbayang kemiskinan di sisi lain.

Beban kesehatan tidak lagi ganda, tapi sudah disebut tripel. Malnutrisi muncul akibat kekurangan kalori protein pada anak berbarengan dengan obesitas pada orangtuanya, dan di kedua generasi ini pun ditemukan kekurangan gizi mikro, akibat asupan pangan yang tidak seimbang, dan tidak sehat.

Alhasil untuk membenahi tubuh yang menderita, uang yang dihasilkan pun menyusut habis – termasuk Jaminan Kesehatan Nasional.

Mengejar kuantitas, tanpa melihat kualitas – ini yang membuat kita terlena seakan ‘kita ini baik-baik saja’.

Sekali pun data PISA di atas memberi fakta mengkhawatirkan, anehnya studi yang dilakukan oleh organisasi yang sama menunjukkan, indeks kesenangan belajar sains kita cukup tinggi! Lebih tinggi dari Singapura, yang menduduki singgasana teratas indeks PISA.

Saat pelajar Singapura stres belajar sains, rupanya anak-anak muda kita punya rasa ingin tahu yang menggebu. Sayangnya, apa yang merangsang rasa ingin tahu itu tidak diimbangi dengan pemahaman.

Tak heran banyak orang rajin membuat penafsiran sendiri-sendiri. Bahkan meluncurkan hoax ‘buatan sendiri’ saking kreatifnya.

Apabila petinggi kita ingin mengejar jumlah universitas dan membuka macam-macam program studi yang baru, tapi tidak berpijak pada kenyataan bahwa kualitas masih jauh tertinggal, saya semakin khawatir.

Bukan hanya “lulusan sarjana” frustrasi yang akan memenuhi angka pengangguran, tapi juga penyimpangan ilmu yang sebatas hanya dibaca kulitnya, tapi tidak pernah dikuliti hingga membentuk jati diri.

Sehingga sayur hijau yang terbaik malah dijual, karena dianggap penyebab asam urat. Juga melimpahnya panen ikan, hanya untuk menyehatkan orang-orang asing, karena dijual ke negeri asing – sementara para ibu masih berpikir, bahwa anak diberi ikan rentan jadi cacingan.

https://lifestyle.kompas.com/read/2018/02/24/081500620/ketika-hasil-panen-sekadar-komoditi-bukan-untuk-konsumsi-demi-gizi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke