Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Jonatan Christie dan Histeria Para Perempuan

Pebulutangkis muda ini memenangkan partai final perebutan medali emas Asian Games 2018, Selasa (28/8/2018), setelah mengalahkan pebulutangkis Taiwan Chou Tie Chen melalui rubber game dengan skor 21-18, 20-22, dan 21-19.

Selain permainan prima yang ditampilkan Jonatan Christie alias Jojo, selebrasi yang dilakukannya menjadi pemicu histeria, khususnya dari para perempuan.

Jojo, dalam dua kali penampilannya, babak semifinal dan final, melakukan selebrasi buka baju setelah memastikan kemenangan atas lawannya.

Histeria 

Apresiasi kemenangan terdengar gemuruh dari lokasi pertandingan, Istora Senayan, Jakarta, yang disiarkan langsung sebuah stasiun televisi. Semakin terdengar bergemuruh saat Jojo melakukan selebrasi.

Euforia kemenangan Jojo juga terasa di jagad maya. Sebelum, saat, bahkan setelah pertandingan berlangsung, topik mengenai Jojo menjadi trending di media sosial, khususnya Twitter.

Berbagai tanda pagar alias tagar seputar Jojo menempati posisi teratas.

Ucapan selamat, bangga, mengalir untuk Jojo. Namun, tak sedikit pula yang mengeluarkan komentar yang terdengar tidak lazim. Ungkapan-ungkapan tersebut dinilai terlalu fokus pada fisik.

Melihat "hilir-mudik" komentar di media sosial, para netizen pun saling berdebat. Ada yang menganggap komentar-komentar itu tak pantas dan bisa disebut sebagai bentuk pelecehan.

Namun, ada pula yang menganggap ungkapan dan komentar yang mengarah ke fisik adalah sesuatu yang wajar dan bagian dari euforia kemenangan.

Benarkah demikian?

Mereka yang berpandangan bahwa hal ini lumrah, dihadapkan pada pertanyaan bagaimana jika komentar itu ditujukan terhadap perempuan?

Contoh yang diajukan adalah komentar dari komentator pertandingan, Valentino Simanjuntak, yang beberapa kali memuji fisik atlet perempuan yang bertanding. Komentar sang komentator dikritik netizen karena dianggap fokus pada fisik, bukan jalannya pertandingan.

Hingga saat ini, perdebatan itu masih berlanjut, termasuk di kolom komentar unggahan Jonatan Chrstie di akun Instagram-nya, @jonatanchristieofficial.

Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Mustaghfiroh Rahayu, akrab disapa Ayu, menilai, komentar yang mengarah ke fisik merupakan harassment (pelecehan).

“Kalau saya melihat, para perempuan yang mengobjektifikasi tubuh Jojo ini sama dengan laki-laki ketika mengobjektifikasi tubuh Aura Kasih, misalnya. itu bagian dari harassment,” ujar Ayu, saat dihubungi Kompas.com, Rabu (29/8/2018).

Menurut Ayu, menjadikan tubuh seseorang sebagai objek perhatian merupakan hal yang tidak wajar sehingga tidak sepatutnya dilakukan. 

“Dalam konteks Jojo, dia lebih dikagumi karena perut six pack-nya daripada prestasinya yang membanggakan. Di sini lah terjadi proses instrumentality. Target (Jojo) dijadikan alat untuk memenuhi tujuan sesorang, salah satunya tujuan kepuasan seksual,” terang Ayu.

Menurut Ayu, histeria perempuan saat melihat Jojo membuka baju dinilai masih wajar, karena budaya di masyarakat kita tidak terbiasa melihat hal semacam itu dilakukan di ruang terbuka.

Pendapat yang sama disampaikan pendiri komunitas Jejer Wedon yang fokus pada isu perempuan, Dewi Candraningsih. 

“Kalau misalnya jerit-jerit ‘uuh tampan’, ‘uuh keren’, itu euforia. Tapi kalau sampai berlebihan, itu sama saja dengan misalnya Via Vallen nyanyi terus disuruh ngelepas baju suruh telanjang, ya itu sama, sudah termasuk harassment,” ujar Dewi, saat dihubungi terpisah.

“Tentang Jojo itu ya saya kira euforia dan juga selebrasi tubuh. Kan maksudnya di Indonesia sekarang apa-apa ditutupi, sebenernya sih kalau budaya nusantara sih enggak gitu-gitu banget  kan ya,” lanjut dia.

Namun, menjadi tak dibenarkan ketika komentar-komentar yang mengarah pada ranah seksual seperti banyak ditemukan di media sosial.

Penghormatan terhadap tubuh

Dalam pandangan sosiologi, pelecehan seksual merupakan hal yang tidak dibenarkan baik dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan.

“Kita harus adil, jika itu tidak boleh dilakukan laki-laki, perempuan juga (tidak boleh melakukan) dong. Enggak ada alasan untuk memperbolehkan kita mengobjektifikasi siapa pun, entah dengan alasan apa,” ujar Ayu.

Hal ini juga ditekankan oleh Dewi. Ia mengatakan, penghormatan terhadap tubuh berlaku untuk semua, baik laki-laki, perempuan, maupun kaum minoritas seksual. Alasannya, hal ini menyangkut integritas.

Lalu, di mana batas pujian bisa mengarah ke pelecehan?

“Bukan pada kata-kata atau kalimat, tapi pada modus dan niatnya. Misalnya lagi wawancara kerja, kamu dibilang ‘uh kamu cantik’, itu jelas pelecehan. Tapi misalnya, ketika anak abis mandi terus ibunya bilang ‘uh kamu cantik’, ya itu bukan pelecehan, itu ibunya memuji anaknya,” kata Dewi menyontohkan.

Dewi mengatakan, modus dan konteks saat kata-kata disampaikan menjadi indikator utama apakah sebuah pujian merupakan sanjungan atau justru mengarah pelecehan.

“Jadi kita enggak bisa menjustifikasi ibu-ibu yang histeris terhadap Jojo itu pelecehan. Kan gak semudah itu.Tapi kita juga perlu mencurigai, histeria lalu dengan kata-kata yang melecehkan, bahwa di situ juga ada pelecehan misalnya, tapi tidak semua,” ujar Dewi.

Melihat komentar-komentar di media sosial, Dewi menyebutnya sudah termasuk dalam pelecehan.

“Ya kalau situasi kayak gini, kami sebagai feminis dengan penuh integritas harus mengatakan itu sudah pelecehan. Saya harus berani bilang bahwa itu pelecehan perempuan terhadap tubuh laki-laki,” kata dia.

https://lifestyle.kompas.com/read/2018/08/30/072233020/jonatan-christie-dan-histeria-para-perempuan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke