Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Perempuan Milenial, Kontributif atau Skeptis?

Dalam Sensus Nasional 2015, capaian tingkat pendidikan perempuan Indonesia meningkat. Total capaian pendidikan di pedesaan dan perkotaan mencapai 7,92 persen. Jika dirinci, untuk perempuan perkotaan sebesar 11,80 persen dan perempuan pedesaan mencapai 3,86 persen (Badan Pusat Statistik, Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035).

Kendati persentase capaian perempuan pedesaan tergolong kecil, tetapi peningkatan yang ditunjukkan data capaian perempuan pada pendidikan tinggi di pedesaan dari 2009 sampai 2015 terbilang stabil, terus meningkat walau hanya dalam kisaran sekitar 0,15 persen.

Adapun di perkotaan, jumlah partisipasi capaian pendidikan antara perempuan dan laki-laki tidak terpaut jauh. Sejak 2009 hingga 2015, selisih paling tinggi hanya 1,4 persen yang terjadi pada 2010. Ini membuktikan kesetaraan di bidang pendidikan antara laki-laki dan perempuan hampir terjadi di kota-kota besar di Indonesia.

Kabar baik lainnya, data Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan terus meningkat. Pada tahun 1980 sebesar 32,43 persen, tahun 1990 sebesar 38,79 persen, dan TPAK perempuan tahun 2014 sudah menjadi 50,22 persen.

Ada lagi survei dari lembaga konsultan Amerika Serikat, Grant Thornton, (2016) menyebutkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-6 di dunia dalam jumlah perempuan yang menjabat sebagai manajer senior dengan presentase 36 persen. Peringkat pertama diduduki oleh Rusia (45 persen), kedua Filipina (39 persen), Lithuania (39 persen), Estonia (37 persen), dan kelima Thailand (37 persen).

Perempuan sebagai subyek pembangunan

Fenomena kenaikan partisipasi perempuan dalam dunia pendidikan dan dunia pekerjaan sangat menarik bila dikaitkan dengan bonus demografi yang akan dialami Indonesia.

Selama tahun bonus demografi, yang puncaknya diprediksi pada 2030, penduduk kelompok usia ketergantungan akan berada pada persentase rendah sehingga perekonomian Indonesia berpotensi berkembang lebih cepat.

Asumsinya, kenaikan angka partisipasi perempuan dalam pendidikan tinggi bisa mendukung fenomena bonus demografi yang terjadi di Indonesia.

Dengan catatan, partisipasi perempuan yang merupakan bagian dari generasi milenial (lahir awal 1980-an sampai awal 1990-an) dalam lingkup dunia professional memang nyata. Sebab, tidak semua perempuan punya peran nyata di dunia profesional.

Sayangnya juga, tidak semua perempuan dengan pendidikan tinggi memanfaatkan ilmunya untuk berkontribusi di dunia profesional. Sebab, perempuan adalah mahluk yang lebih kompleks dibandingkan laki-laki.

Perempuan, bila memutuskan untuk menjajaki dunia profesional, disadari atau tidak mereka menanggung beban ganda, yaitu tanggung jawab pada ranah domestik dan pekerjaannya.

Dalam konteks potensi tingkat pendidikan perempuan dalam menyambut bonus demografi, yang kita butuhkan adalah peran semua orang, baik laki-laki atau perempuan dalam bidang pembangunan. Peran yang dimaksud di sini adalah peran nyata, seperti bekerja atau volunteering.

Baij Nath Singh dalam Economics of Women Education and Empowerement (2011;214) menekankan upaya melakukan pemberdayaan manusia melalui perempuan bisa merangkul prinsip seperti "Perempuan harus dianggap sebagai agen dan penerima manfaat dari perubahan. Investasi dalam kemampuan perempuan dan memberdayakannya adalah cara yang paling pasti untuk memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan atas semua pembangunan".

Dengan kata lain, perempuan milenial diharapkan bisa menjadi subyek (agen perubahan) dalam pembangunan nasional. Bukan hanya obyek yang merasakan manfaatnya saja.

Bila sedikit ekstrem, khususnya untuk perempuan yang mendapatkan beasiswa pendidikan dari pemerintah Indonesia, harus mempunyai peran riil dalam sektor publik. Wujudnya yang paling mudah dilihat adalah bekerja sesuai dengan bidang ilmunya.

Sekilas riset tentang perempuan milenial

Penulis pernah mengadakan riset ilmiah mengenai latar belakang perempuan milenial Indonesia yang melanjutkan pendidikan tinggi (S2 dan S3). Deretan jawaban dari 66 responden yaitu ingin menjadi lebih ahli dalam ilmu yang digeluti, aktualisasi diri, dan membantu perekonomian keluarga.

Oleh karena itu, mereka rela menyediakan waktu luang untuk melanjutkan kuliah. Bahkan meski tanpa beasiswa, banyak perempuan yang self funded (secara sukarela menabung atau dibiayai orang tua atau suami kuliah lagi).

Selain itu, 84 persen responden juga mengatakan bekerja setelah menikah. Ketika dihadapkan memilih dunia profesional atau domestik, 60 persen perempuan merasa yakin bisa membagi waktu antara keduanya dan 23 persen memilih meninggalkan dunia profesional untuk fokus pada rumah tangga.

Bagaimana bila pasangan lebih menyukai mereka untuk fokus di ranah domestik saja? Hasilnya, 64 persen responden memilih untuk terus meyakinkan pasangan bisa total di ranah domestik dan profesional, dan 7,5 persen memilih meninggalkan karier untuk menyenangkan pasangan.

Data demi data dan hasil riset menunjukkan hasil yang berbanding lurus antara usaha dan kemauan perempuan Indonesia untuk mendukung sektor perekonomian Indonesia.

Di Hari Perempuan Internasional ini, kabar baik ini semoga menjauhkan perempuan Indonesia dari sikap saling menyabotase, skeptis, nyinyir, dan stigma lain terhadap perempuan lainnya.

Perempuan zaman sekarang sudah bukan waktunya untuk saling menjatuhkan, berkompetisi dengan culas, dan saling sikut. Nowadays point, empowered women empower others.

https://lifestyle.kompas.com/read/2019/03/08/180607520/perempuan-milenial-kontributif-atau-skeptis

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke