Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bumbu Baru Itu Bernama Penyedap dan Aneka Kecap

Mulai dari proses belanja, mengolah di atas kompor hingga menyajikan ala chef ramai dipamerkan dalam berbagai media sosial.

Tak punya resep bukan soal – karena dengan mengetik ‘soto ayam’ saja di laman pencari – langsung terpampang ratusan sumber resep soto yang mengaku paling enak dan super praktis dari berbagai sumber.

Tak terkecuali, banyak pasien saya yang dengan bangga menunjukkan jurnal makanan keluarga yang dimasaknya sendiri, yang menurut mereka sudah amat sehat dan ‘sesuai kaidah’ gizi seimbang. Tentu saja: anti micin, kata mereka.

Tapi begitu ‘dibongkar’ satu per satu, walaupun tanpa nada menghakimi apalagi mengkritik, ternyata sajian-sajian rumahan itu belum layak disebut sehat.

Banyak ibu-ibu muda berusaha meniru makanan restoran, yang diandaikan mereka sebagai menu andalan, dijamin habis ludes dimakan suami dan anak-anak.

Maka muncullah berbagai ‘judul’ makanan seperti chicken terriyaki, grilled salmon, sapo tofu, beef bulgogi, tuna kimbab, crispy chicken strips, dan jika sudah mentok disebutlah tumis kailan saus tiram.

Saya hanya bisa menahan napas. Salah satu niatan pekerjaan rumah libur akhir tahun ini rasanya saya perlu membuat papan khusus yang berisi tempelan semua label botol dan bumbu kemasan, beserta penjelasannya.

Generasi milenial tak terelakkan terpapar dengan berbagai makanan internasional, tentu saja.


Tapi yang celaka, mereka tidak paham bahwa berbagai menu khas suatu bangsa juga punya asal usul yang otentik.

Sebutlah kecap fermentasi khas Jepang atau Korea, yang awal mulanya dibuat dalam gentong-gentong besar, disimpan bahkan hingga tahunan lamanya – sekaligus menentukan kualitasnya.

Tapi begitu tiruannya masuk ke pasar ritel dalam botol, maka komposisi yang bisa dibaca justru bahan-bahan yang sama sekali tidak pernah ada dalam pembuatan di tempat asalnya.

Sebut saja sirup jagung tinggi fruktosa, pati jagung modifikasi, pewarna karamel, penstabil gom xanthan – semua itu bisa dibaca pada labelnya.

Dan jangan lupa, semua kecap seperti itu dan cairan perendam daging mengandung mononatrium glutamat. Natrium adalah nama lain dari sodium. Tebak senyawa apa itu? MSG, alias ‘micin’.

Bukan ingin sok kampungan atau nasionalis kebablasan, tapi apa salahnya anak-anak kita diajarkan mencicip makanan dari tanah air sendiri – yang semua bahan baku aslinya hidup di negri ini.

Tanpa perlu membuka botol atau menyobek kemasan. Sedikitkan kemasan, mulailah dengan kupasan.

Mulai dari mengupas bawang hingga kentang, tanpa perlu dibuat ‘mashed potato’ bertabur keju buatan pula, yang di negri asalnya sudah dihujat – karena bukan keju ‘beneran’. Tidak percaya? Baca lagi kemasannya.

Dalam salah satu penelitian yang sudah dikutip oleh seorang spesialis anak, disebut 8 dari 10 anak mengidap hipertensi gara-gara kandungan natrium yang tidak dipahami saat orangtua memasak atau membeli makanan.

Selama ini kita barangkali mengandaikan natrium hanya berasal dari garam dapur.

Padahal, dengan begitu banyaknya produk industri yang dimakan termasuk yang dijadikan bumbu masak, keluarga-keluarga Indonesia tidak sadar telah mengonsumsi natrium lebih dari apa yang tubuh butuhkan.

Contoh yang paling mencolok sebagai gambaran umum cara orang Indonesia memasak justru saat terjadi bencana.

Jangan mengandaikan makanan yang dikonsumsi dalam tenda-tenda itu adalah pangan darurat.

Sesungguhnya, dalam kehidupan normal tanpa bencana pun semua yang ada di dapur umum itulah juga tersedia di dapur setiap keluarga.

Banyak wajah terbengong-bengong tak percaya, jika saya bilang kita bisa masak tanpa bumbu ‘penyedap’.

Rupanya bubuk ajaib itulah satu-satunya yang mereka anggap sebagai bumbu, selain deretan botol saus dan aneka kecap.


Generasi milenial yang katanya hidup praktis dan ingin serba cepat tidak lagi paham perkara memilih, meracik dan mengolah.

Bisa jadi membedakan lengkuas dan jahe pun mereka kesulitan. Apalagi, mengenali bentuk temu kunci, andaliman, jinten, kembang lawang dan adas. Jangan ditanya soal takaran bumbu.

Padahal, semua rempah itu adalah incaran Belanda saat pertama kali tergoda ingin menjajah Nusantara.

Sekarang yang diincar dari tanah air kita lebih banyak lagi. Mulai dari ikan kerapu yang parkir di negri orang sekian trilyun rupiah setiap tahunnya, berton-ton manggis ditampung negri tetangga, bahkan Singapura menjadi pembeli buncis terbanyak dari Indonesia.

Yang membuat miris, anak-anak negri kita malah makan ikan asin dan sisa-sisa remah ikannya buat jadi kerupuk tak bergizi, orangtuanya mendewakan kulit manggis sebagai obat setelah terkena kanker, dan sayur pun didakwa sebagai penyebab asam urat.

Terkadang, proses mendidik bangsa ini untuk menjadi paham dan punya rasa berharga nampaknya menemui jalan buntu penuh gerutu.

Karena, tidak banyak orang mampu melihat secara arif duduk perkara nutrisi dan kaidah-kaidah kodrati, yang sama sekali berbeda cara pandangnya dengan teknologi.

Sampai suatu saat nanti, cucu dan cicit kita akhirnya bisa terbelit hanya sebagai bangsa konsumtif, terjerat dengan hutang memelihara bumi pertiwi. Amit-amit jangan sampai terjadi.

https://lifestyle.kompas.com/read/2019/12/25/123000320/bumbu-baru-itu-bernama-penyedap-dan-aneka-kecap

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke