Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengapa Relasi Kuasa Bisa Menyebabkan Body Shaming?

Oleh: Alifia Putri Yudanti & Ristiana D. Putri

KOMPAS.com - Sebaik apa pun bentuk badannya, hampir setiap perempuan pasti pernah mengalami body shaming. Perilaku ini bisa menimpa siapa saja tanpa melihat relasi terhadap korbannya. Misalnya saja, body shaming kerap kita temui di lingkungan keluarga, teman, hingga pekerjaan.

Lingkungan pekerjaan yang seharusnya menjunjung tinggi profesionalitas, ternyata banyak ditemukan fenomena body shaming. Terlebih, saat sudah lama tak bertemu karena bekerja dari rumah, mungkin banyak rekan kerja dan atasan yang akan berkomentar seputar tubuh kita.

Hal itu juga diungkapkan oleh Ayoe Sutomo, Psikolog Anak, Remaja, dan Keluarga, dalam siniar Semua Bisa Cantik seri Monolog bertajuk "Body Shaming di Lingkungan Kerja: Relasi Kuasa dan Profesionalitas" dengan tautan akses https://spoti.fi/3BnJ6CT. Menurutnya, body shaming di lingkungan kerja itu lebih rumit karena adanya relasi kuasa.

Krusialnya Posisi Si Kuasa dalam Body Shaming

Relasi kuasa merupakan teori yang diungkapkan oleh seorang filsuf, yaitu Michel Foucault. Dalam buku Filsafat Barat Kontemporer oleh K. Bertens, ia mengakui ada banyak kekuatan dan kuasa yang menyebar luas dalam relasi antarmanusia.

Dengan relasi kuasa, seseorang yang berposisi lebih tinggi?atasan, misalnya?bisa lebih bebas berbicara. Hal itu karena ia berada di hierarki tertinggi. Sementara itu, para karyawan yang berada pada posisi di bawahnya, kerap tak bisa berbuat apa-apa.

Para karyawan cenderung takut akan konsekuensi yang ada apabila mereka berbicara perihal ketidaknyamanan soal body shaming. Oleh karena itu, banyak dari korban yang lebih memilih diam dan menelan dengan pahit segala lontaran dari atasan, juga rekan kerja.

Tak hanya atasan, rekan kerja laki-laki pun kerap berbicara sekenanya. Masalah ini dilatarbelakangi oleh lingkungan yang masih menganggap laki-laki berada di posisi lebih tinggi dari perempuan. Persepsi itu pun menjadi stigma yang turut memperkuat relasi kuasa

Menurut Ayoe, "Kalimat dengan sisipan komentar mengenai tubuh, seolah menjadi satu hal yang wajar di masyarakat," ia melanjutkan, "Tanpa peduli, bahwa sebetulnya, tindakan tersebut bisa berdampak buruk bagi si penerima."

Sampaikan dan Edukasi dengan Bahasa yang Santun

Untuk mengatasinya, sampaikanlah rasa keberatan kita dengan menegur langsung. Karena memendam perasaan sendiri, bisa berdampak buruk pada kesehatan jiwa dan raga kita. Utarakanlah dengan bahasa yang santun dan asertif.

"Sebelum menjawab, pastikan bahwa kita berada dalam kondisi emosi yang tenang. Sehingga, kita tidak balik melakukan body shaming," jelas Ayoe.

Lebih baik lagi kalau kita bisa menyisipkan edukasi seputar body shaming. Lagi-lagi, siapa tahu si pelaku itu belum mengenal betul apa itu body shaming dan dampaknya untuk si penerima.

Apabila usaha di atas tak mempan juga, berbicaralah dengan perwakilan pegawai (HR) yang peduli dengan kesehatan mental. Nantinya, mereka yang akan turun tangan untuk mengambil langkah dan tindakan selanjutnya.

Terakhir, jangan lupa untuk senantiasa mencintai diri sendiri. "Mencintai diri sendiri butuh proses, bukan protes. Maka dari itu, cintai diri sebagaimana mestinya dan hargai diri, sebagaimana adanya. Kita juga memiliki tanggung jawab untuk belajar mengenal diri sendiri," tutupnya.

Dengarkan beragam konten monolog yang berisi kalimat-kalimat motivasi dari Ayoe Sutomo, seorang Psikolog Anak, Remaja, dan Keluarga, dalam siniar Semua Bisa Cantik. Dengarkan dan ikuti siniarnya di Spotify, sekarang juga!

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/02/25/105656320/mengapa-relasi-kuasa-bisa-menyebabkan-body-shaming

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke