Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bagaimana Memenangi Perang Melawan Kemalasan Berolahraga

Ajakan dari Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin kepada masyarakat pada peringatan Hari Olahraga Nasional, 9 September 2022, untuk terus aktif bergerak, bergaya hidup sehat dengan menjadikan olahraga sebagai bagian dari keseharian bukanlah perkara yang gampang untuk diwujudkan.

Sesunggunya sebagian besar dari kita hampir ajek mengalami "kekalahan" saat berjuang melawan paradoks olahraga (exercise paradox). Hampir setiap orang berpikir bahwa aktivitas fisik, termasuk olahraga, sangatlah penting untuk menjaga kesehatan. Namun faktanya sangat sedikit orang yang mau dan mampu melakukannya secara serius.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengonfirmasi hal tersebut. Persentase penduduk Indonesia usia 31 hingga 59 tahun yang berolahraga hanyalah 18,59 persen.

Hasil yang lebih menyedihkan ditemukan jika kriteria sensus diperdalam menjadi “jumlah menit berolahraga (lebih dari 120 menit per minggu) penduduk Indonesia berumur di atas lima tahun". Angkanya sangat mengejutkan, hanya 2,59 persen saja.

Hasil itu terekam dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional atau Susenas (BPS, 2018). Kecilnya angka tersebut sekaligus menjadi jawaban yang sangat jelas atas data hasil dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 tentang tingginya prevalensi penderita penyakit tidak menular atau PTM.

Prevalensi PTM (dalam satuan per mil) meliputi ginjal kronis (3,8), stroke (10,9), hipertensi (341), kanker (1,8), dan diabetes melitus atau DM (85).

Angka-angka tersebut naik secara signfikan dibandingkan hasil Riskesdas sebelumnya (2013). Peningkatan mulai dari yang terendah, sebesar 23 persen terjadi pada prevalensi penderita DM. Kenaikan tertinggi adalah prevalensi penderita ginjal kronis sebesar 90 persen (Riskesdas, 2018).

Riskesdas juga merekam prevalensi penderita PTM serupa yang ternyata sudah muncul pada penduduk usia remaja, 15 – 24 tahun. Angkanya mengkhawatirkan.

PTM sering disebut sebagai penyakit gaya hidup, utamanya gaya hidup sedenter (sedentary), sebuah gaya hidup yang cenderung kurang aktivitas fisik seperti hanya duduk, bersandar, berbaring atau rebahan.

Pengeluaran kalorinya sangat rendah, kurang dari atau sama dengan 1,5 MET’s (Metabolic Equivalents of Task), contohnya menonton TV, menulis, menggunakan komputer sambil duduk.

Perang abadi yang alamiah dan ilmiah

Perjuangan setiap orang untuk dapat aktif bergerak secara fisik terjadi hampir setiap hari, dan akan terus terjadi sepanjang waktu. Mengapa begitu susah memenangkan peperangan melawan “kemalasan” untuk aktif bergerak?

Jika kita mencoba mencari jawaban dengan melakukan googling pakai  kata kunci berupa pertanyaan “Why is it so hard to go exercise?” (Mengapa begitu sulit untuk berolahraga?). Maka, dalam waktu hanya 0,61 detik diperoleh 1,36 miliar hasil. Sangat menakjubkan.

Ternyata repotnya menjadi orang aktif bergerak, termasuk berolahraga, telah menjadi persoalan dan perhatian jutaan bahkan miliaran orang di seluruh dunia. Sesuatu yang sejatinya sangat alamiah, karena memang dialami banyak sekali manusia di Bumi.

Boisgontier, et al. (2018) peneliti dari University of British Columbia, menjawab pertanyaan di atas melalui sebuah riset. Temuannya telah dipublikasikan di jurnal Neuropsychologia dengan tajuk “Avoiding Sedentary Behaviors Requires more Cortical Resources than Avoiding Physical Activity: An EEG (Electroencephalography) Study”.

Dalam temuannya, dia mencoba membantu kita agar mampu memahami secara tepat apa yang sesungguhnya terjadi dalam peperangan abadi tersebut dari kacamata ilmiah. Pemahaman yang tepat sangat penting agar tidak terbelenggu oleh cara berpikir atau paradigma yang keliru.

Hanya dengan paradigma yang benar, perubahan yang positif dan bermakna akan diperoleh. Paradigma yang tepat penting karena kemampuannya membedah realitas empiris dan keluwesannya dalam menyikapi persoalan yang akan dipecahkan.

Paradigma merupakan suatu sudut pandang untuk memahami sebuah fenomena secara lebih komprehensif. Melalui hasil penelitiannya, Matthieu Boisgontier menjelaskan bahwa hambatan sesungguhnya yang menghalangi orang-orang menjadi aktif bergerak ternyata ada dalam otak kita masing-masing.

Menurut dia, dalam diri manusia secara alamiah terjadi adanya adaptasi evolusioner yang mendukung konservasi atau meminimalkan penggunaan kalori untuk tujuan bertahan hidup (survival).

Namun seiring dengan perjalanan waktu serta kemajuan masyarakat dan teknologi kondisi ini akhirnya justru menjadi masalah.

Boisgontier juga menjelaskan, kita harus memerangi kecenderungan alamiah (dan primitif) dalam diri kita tersebut.

Itulah paradigma baru yang harus ditancapkan dalam otak kita. Bukan malah sebaliknya, tetap malas dan berlindung di balik temuan ilmiah Boisgontier tersebut.

Penemuan tersebut tentu saja bukan dimaksudkan untuk tindakan pembenaran (justification), namun lebih untuk memberikan pemahaman dan wawasan baru, bahwa diperlukan usaha-usaha yang sangat keras untuk melawan dan mengalahkannya.

Nobody is too busy

Ketika kita dihadapkan pada pilihan “berat” untuk berolahraga, daftar alasannya bisa sangat panjang. Penulis setidaknya menemukan 13 alasan. Konon, semakin cerdas seseorang, ia akan semakin pintar membuat daftar alasan yang semakin panjang.

Berikut adalah daftar 13 alasan itu 

  1. Sibuk dan tidak punya waktu.
  2. Sedang sakit.
  3. Tidak punya sepatu atau baju olahraga.
  4. Tidak terlihat menarik saat olahraga.
  5. Tidak suka berlari.
  6. Tidak terlalu suka berolahraga.
  7. Repot mengurus anak.
  8. Terlalu lelah jika berolahraga.
  9. Ingin fitness tetapi alat olahraga mahal.
  10. Menganggap olahraga itu berat.
  11. Tidak punya motivasi.
  12. Cuaca kurang mendukung.
  13. Banyak tugas kantor.

Jika diperhatikan dengan lebih teliti, sejatinya hanya terdapat tiga alasan utama saja. Pertama, alasan pembenaran (justication) yang meliputi enam alasan pertama.

Selanjutnya alasan kedua berupa keluhan (complaint) ditunjukkan persis pada 5 alasan berikutnya.

Terakhir alasan berupa menyalahkan keadaan (blaming) yang terlihat pada dua alasan paling akhir dari 13 daftar alasan di atas.

Sejatinya, tiga alasan tersebut masih dapat dipadatkan lagi menjadi hanya satu alasan saja.  Alasan tunggal itu adalah “tidak punya prioritas”. Orang bijak mengatakan “Nobody is too busy, it’s just matter of priority”.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), prioritas adalah sesuatu yang harus didahulukan dan diutamakan daripada hal yang lain. Sementara menurut Eisenhower Matrix (Eisenhower Box), prioritas artinya sesuatu yang penting dan mendesak, sehingga harus segera dikerjakan, sekarang juga. Tidak bisa ditunda lagi. Do it now.

Eisenhower seorang jendral yang memimpin pasukan sekutu dan memenangkan Perang Dunia II, sang penggagas Eisenhower Matrix. Ia kemudian juga sukses menjadi Presiden Amerika Serikat ke-34.

Paradigma inilah yang akan membawa kita memenangi pertarungan abadi melawan belenggu perilaku sedenter. Mendahulukan dan mengutamakn aktivitas fisik, termasuk olahraga, di atas hal-hal yang lain.

Sesungguhnya, tidak ada seorang pun yang terlalu sibuk, semua hanyalah masalah prioritas semata. Alasan bisa dibuat-buat, namun ia bukan untuk diikuti tetapi untuk dibuang jauh-jauh.

Jadi marilah mulai menjadi pemenang kehidupan dengan menaruh prioritas hidup yang tepat. Hidup yang lebih baik (live better), penuh kegembiraan (fulfillment), dan hidup lebih mandiri (independent), yang hanya akan terwujud bila kita aktif bergerak, sehat, bugar, dan tentu saja jauh dari perilaku para sedenter.

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/09/13/103215520/bagaimana-memenangi-perang-melawan-kemalasan-berolahraga

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke