Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Indonesia Krisis Konselor Laktasi dan Literasi Gizi

Banyak pembelajaran yang saya dapatkan dari perjalanan daerah yang selama ini ditempuh hingga pelosok desa, pulau, menempuh perjalanan udara, darat hingga laut yang “ngeri-ngeri sedap”.

Ada kemiripan masalah yang saya temui di tanah air yang kaya raya bahan pangan dan mustahil terjadi malnutrisi, apalagi sampai kejadian stunting di usia anak yang belum genap menyelesaikan dua tahun pertama dalam kehidupannya.

Pertama. Pejabat pemerintah daerah (mungkin juga pusat) masih punya pemahaman yang berbeda tentang terminologi stunting. Bahkan, tidak jelas kriteria pastinya apa.

Apalagi aneka kontributor penyebabnya, yang mana faktor di luar masalah gizi justru menjadi biang keladi terbesar yang luput ditangani.

Akibatnya tontonan yang selama ini kita saksikan adalah riuh rendahnya aneka susu formula, susu lanjutan, susu kemasan aneka rasa, serta banjir gula tambahan saling berebut pasar di posyandu sebagai “kucuran bantuan” pemerintah yang dipertanyakan efektivitasnya.

Belum ada studi berbasis bukti, bahwa aneka susu kotak kecil berperisa coklat, stroberi, dan bergula banyak itu mempunyai dampak mencegah stunting.

Apalagi susu formula yang hanya tiga kotak, bahkan ada wilayah desa yang dengan tega semena-mena membagi susu formula dalam plastik klip, seakan itu adalah obat ajaib pencegah stunting.

Pemangku kebijakan bisa jadi tidak tahu fenomena ini, karena kendala monitoring dan otonomi daerah yang kebablasan.

Bahkan, masih ada yang menyebut-nyebut propaganda lawas 4 Sehat 5 Sempurna yang sejak 2014 melalui Permenkes No. 41 telah diganti menjadi Gizi Seimbang.

Belum lagi para petinggi kita pun tidak menyadari, bahwa di lapangan ibu-ibu justru tersenyum bahagia membawa anak dengan gangguan gizi, karena mumpung dapat susu gratis yang tak terjangkau penghasilan suaminya.

Kedua. Hampir tidak pernah saya temui meja ke 4 posyandu, yang mestinya menyediakan tenaga kader yang mampu memberikan konseling. Terutama bagi para ibu yang berat badan bayinya tidak naik, seret atau malah berlebih.

Tak jarang kader justru mendorong para ibu memberi sufor, bahkan mengatakan ibu pelit jika bersikukuh ingin menyusui anaknya hingga tuntas dua tahun.

Ada pula kader yang memberi “nasihat pribadi”: menganjurkan bayi diberi pisang atau biskuit sebagai “perkenalan” makan, sebelum genap 6 bulan saat makanan pendamping asi (MPASI) dimulai.

Tak heran pemberian makanan tambahan (PMT) di posyandu banyak yang jauh dari contoh sehat. Aneka wafer coklat, sosis, bahkan makanan ringan kemasan yang jelas tinggi gula garam dan lemak trans – yang sama sekali bukan konsumsi balita.

Atau seandainya pun PMT dibuat sendiri, selain bubur kacang hijau yang santannya telah diganti susu kental manis (karena santan dituding meningkatkan kolesterol), ada puding agar warna warni super manis, atau jus buah yang berisiko membuat bayi justru diare.

Belakangan kader merasa lega tanpa beban harus mengolah PMT saat instruksi membagi susu dimulai.

Bahkan, aneka kotak susu itu dianggap menjadi daya tarik bagi para ibu datang ke posyandu. Semakin mahal susunya, posyandu semakin mahal dan banjir pujian untuk kucuran PMT nan royal.

Ketiga. Tidak adanya kurikulum ilmu gizi yang up to date bagi para nakes, apalagi pemahaman tentang manajemen laktasi membuat semua hal di atas kian kisruh.

Padahal, dari level pejabat hingga kader menggantungkan kepercayaan mereka terhadap pengetahuan dan kompetensi nakes.

Sebutlah dokter yang baru lulus: Apakah mereka mampu mengajar perlekatan yang benar bagi seorang ibu saat belajar menyusui pertama kalinya? Tidak. Mendengar istilah perlekatan saja seperti istilah aneh dari bulan.

Puting ibu lecet saat menyusui dianggap lidah bayi yang kasar sebagai biang keladi. Padahal, sama sekali salah.

Ketika ibu tidak sanggup menahan perih karena puting lecet, dengan mudahnya dokter muda menganjurkan susu formula sebagai pengganti.

Para lulusan nakes kita tidak siap dengan fakta lapangan. Mereka terbiasa lompat ke solusi. Sejauh yang mereka pahami teknologi semakin membuat komposisi formula ‘mendekati ASI’.

Mereka tidak mau tahu, bahwa kelengkapan dan kesempurnaan ASI yang komposisinya bisa berubah setiap hari sesuai kebutuhan bayi, tidak mungkin bisa disetarakan dengan susu pengganti apa pun.

Dan di luar sana, sudah ada kelompok sentimen yang apabila membaca paragraf ini dianggap saya melakukan pemaksaan menyusui anak. Melanggar kebebasan memilih seorang ibu.

Bahkan, lebih parah lagi: muncul tuduhan yang kian menyudutkan ASI dan proses menyusui. Miskin zat besi dengan risiko anemia, miskin kalori, miskin nutrisi saat ibu makan amburadul dan masih banyak lagi.

Padahal ilmunya sudah jelas: itu sebabnya di usia 6 bulan bayi perlu mendapat makanan pendamping (bukan pengganti) ASI, untuk mengejar kebutuhan zat besi untuk tumbuh.

Anak di atas 1 tahun, yang susah makan dan hanya mau menyusu pada ibunya, jelas kekurangan energi dan sulit tumbuh.

Begitu pula ibu yang asupan gizinya amburadul, kelelahan, mengadalkan asi perah buat anak yang ditinggal bekerja hingga berakhir ASI seret dan berat badan anak ikut terdampak.

Di usia 6-8 bulan setelah anak belajar makan, ASI tetap dibutuhkan sebagai kontributor antibodi, probiotik dan enzim, serta 70% kecukupan kalori. Yang berangsur kebutuhannya akan menurun dengan meningkatnya asupan pangan berkualitas dan cukup.

Keempat. Kesiapan menjadi orangtua menjadi masalah besar munculnya generasi rentan gizi buruk. Sebelum menikah, kursus persiapan calon pengantin jauh dari kata cukup.

Seandainya pun ada materi tentang gizi keluarga, isinya klasik membosankan. Tak ada bahasan soal persiapan menyusui, apalagi menghadapi anak susah makan alias periode ‘gerakan tutup mulut’ yang sebabnya bisa banyak faktor.

Termasuk pola asuh yang salah, ketidaksatuan visi antara orangtua dan nenek yang ikut mengasuh, hingga cara menimba ilmu sebagai orangtua baru apabila masalah muncul.

‘Juru selamat’ mencari jawaban akhirnya berujung pada media sosial. Yang menawarkan berbagai kemudahan dan keajaiban.

Aneka resep ajaib yang dikenal sebagai ‘bb booster’ untuk mengatasi berat badan seret, aneka suplemen hingga metode-metode yang hanya bisa diakses melalui internet dan belum diakui kebenarannya.

Kelima. Aneka produk kemasan beserta iklan semakin menggila tak terkendali di negri ini. Zaman saya punya bayi, belum ada yang namanya ‘kerupuk bayi’ hingga ‘mi khusus bayi’.

Sedangkan sekarang, bayi diperlakukan seperti dewasa mini. Seakan-akan apa yang orangtuanya makan (yang belum tentu sehat), perlu diproduksi versi bayinya. Ditambah iming-iming berbahan organik, tanpa pengawet.

Mempunyai satu anak bayi bisa membuat ekonomi keluarga bangkrut dan dari kecil anak dididik untuk mempunya referensi dan preferensi pangan yang kacau.

Nakes-nakes muda alih-alih meluruskan kekisruhan ini, malah dengan senang hati menjadi penganjur alias ‘endorser’ aneka produk yang dipercaya awam bagus, karena dipromosikan nakes.

Flores adalah pulau indah yang menjadi bagian impian saya semasa duduk di sekolah menengah tahun 80-an.

Saat itu, saya menjadi penulis kisah seri Lea dan Leo majalah anak ‘Kunang-kunang’ selama 5 tahun lebih. Ketika saya menjejakkan kaki pertama kali di Labuan Bajo, kabupaten Manggarai barat, bayangan Flores berubah menjadi Bali generasi baru.

Semua tempat makan yang saya kunjungi menyajikan menu pulau Jawa bahkan sajian kebarat-baratan.

Roti kompyang (bahasa aslinya guang-biang) yang katanya oleh-oleh tradisional pun sebetulnya inkulturasi budaya Tionghoa. Padahal, gandum tak tumbuh di bumi Nusantara.

Tapi saya masih menaruh banyak harapan pada kepala desa dan kepala puskesmas, yang begitu semangat ingin memajukan wilayahnya dan menuntaskan masalah stunting.

Mereka amat paham bahwa pokok permasalahannya bukan karena orang Flores kurang makan. Sebab berjenis-jenis ikan segar dan aneka hasil kebun melimpah ruah. Tinggal bagaimana itu semua bisa menjadi pangan sehari-hari ketimbang menggemukkan para turis.

Tinggal bagaimana dana desa bisa diakses dengan musyawarah desa dan disusun anggaran pendapatan dan belanja desa yang berpihak pada masyarakat.

Tinggal bagaimana akses air bersih dan tata kelola rumah tangga mencegah anak-anak tidak terancam stunting.

Tinggal bagaimana semua pihak terkait mau memahami secara khusyuk, tentang aneka sabotase tumbuh kembang anak yang diam-diam berkembang makin liar.

Tinggal bagaimana bangsa Indonesia bangga menjadi anak Nusantara, menapak era globalisasi tanpa harus berubah wajah.

https://lifestyle.kompas.com/read/2023/05/29/120500720/indonesia-krisis-konselor-laktasi-dan-literasi-gizi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke