Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Fenomena Gunakan Barang Mewah, Kebutuhan atau Gengsi?

Oleh: Alifia Putri Yudanti dan Ikko Anata

KOMPAS.com - Kehidupan yang penuh dinamika membuat pola pikir masyarakat berubah. Jika dulu barang-barang mewah adalah sesuatu yang hanya bisa dibeli oleh kalangan tertentu, kini hal tersebut pun dapat dimiliki semua orang.

Terlebih, menjamurnya platform penyedia cicilan dengan persyaratan yang mudah, membuat sikap konsumtif masyarakat meningkat. Ditambah lagi, ada tekanan dari lingkungan sekitar yang mengharuskan kita menggunakan barang tertentu agar mendapat pengakuan.

Dalam siniar Balada +62 episode “EMANG HARUS PAKE M*CBO*K DAN IP**NE BIAR KEREN?!” dengan tautan s.id/Balada62MBIP, Kukuh dan Dwik pun membahas fenomena ini. Menurut mereka, seharusnya ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum membelinya.

Hal ini karena membeli barang mewah sebenarnya bukanlah kebutuhan utama. Lantas, mengapa banyak orang yang rela mengejarnya padahal hidup pas-pasan?

Marketing 4.0: Mengejar Gaya Hidup Mewah si Konsumen

Pada saat ini, hampir semua bisnis berlomba-lomba untuk menggaet konsumen agar tetap loyal mengenakan jasa atau produknya. Ditambah lagi, teknik pemasaran terbaru, yaitu Marketing 4.0 atau digital marketing bertujuan memenangkan hati para konsumen.

Kusumasari (2022) mengatakan marketing 4.0 mengintegrasikan gaya hidup dan substansinya di era ekonomi digital ini. Jika tak memiliki ‘gaya’, orang tersebut akan tertinggal dari lingkungannya.

Selain membutuhkan gaya, mereka juga ingin tahu substansinya: apakah nanti barang tersebut memiliki nilai lebih atau berdampak pada dirinya.

Ditambah, teknik pemasaran yang digunakan saat ini adalah 5A, yaitu aware, appeal, ask, act, dan advocate. Artinya, setiap orang bisa membagikan pendapat mereka dan memengaruhi orang lain untuk membeli barang tersebut.

Itulah mengapa, hadir influencer yang memiliki pengaruh kuat terhadap pemasaran suatu brand. Apalagi, jika dalam konteks barang mewah, para influencer tersebut berada di kasta sosial yang dapat dikatakan tinggi.

Bagi audiens yang mudah terpengaruhi, mereka akan menganggap ini sebagai hal yang serius. Pada akhirnya, tertanam stigma atau stereotip dalam pola pikir mereka terhadap suatu barang atau brand.

Tekanan Lingkungan dan Citra Diri di Media Sosial

Menurut beberapa studi psikologi perilaku modern, banyak konsumen yang nekat membeli barang mewah, padahal tidak mampu secara finansial. Oleh karena itu, tak jarang beberapa dari mereka nekat mengambil cicilan berbunga hingga pinjaman ilegal yang mengancam nyawa.

Tindakan ini tidaklah bijak karena artinya orang tersebut tak mampu mengelola keuangan mereka. Akan tetapi, mereka tentu saja tak memikirkan hal ini karena lebih dulu mementingkan ego mereka yang mayoritas disebabkan oleh tekanan lingkungan.

Menurut Sivanathan dan Pettit (2010) keinginan membeli barang mewah dan bermerek ini kerap dilakukan setelah harga diri mereka jatuh. Dengan melakukan pembelian seperti ini, mereka berharap dapat mengembalikan harga diri.

Selain itu, kedua peneliti tersebut juga menemukan bahwa sebagian besar orang lebih cenderung melakukan pembelian dengan kartu kredit, karena membeli secara tunai memberi dampak psikologis yang tidak nyaman bagi mereka.

Korea Selatan, Negara Pembelian Barang Mewah Tertinggi

Menurut penelitian Morgan Stanley dalam Korea Times, pengeluaran masyarakat Korea Selatan untuk barang-barang mewah meningkat sebesar 24 persen pada tahun 2022 ($16,8 miliar).

Angka ini menjadikannya sebagai negara dengan pembeli barang-barang mewah terbesar. Bahkan, setiap orang mampu mengeluarkan rata-rata 325 dolar hanya untuk membeli barang-barang tersebut.

Tak jarang, masyarakat negeri ginseng tersebut rela mengantre hingga menginap (open run) di depan toko-toko mewah saat mereka mengeluarkan barang edisi terbaru atau terbatas. Lebih parahnya lagi, beberapa dari mereka juga rela kekurangan gizi dengan hanya mengonsumsi makanan instan dari minimarket.

Faktor yang melatarbelakanginya pun beragam. Namun, ada tiga faktor utama yang menyebabkan fenomena ini. Pertama, barang mewah sering dikaitkan dengan status sosial masyarakat Korea. Bagi mereka, barang mewah dapat merepresentasikan kekayaan dan kesuksesan.

Kedua, masyarakat Korea memiliki kecintaan yang tinggi terhadap dunia fesyen. Ditambah lagi, ada pengaruh besar dari idol K-Pop. Terakhir, yaitu FOMO atau takut tertinggal hingga merasa tertekan jika mereka tak mengenakan barang mewah tersebut.

Lantas, bagaimana pendapat Kukuh dan Dwik terkait fenomena pembelian barang mewah demi memenuhi tuntutan gaya hidup?

Dengarkan perbincangan lengkapnya hanya melalui siniar Balada +62 episode “EMANG HARUS PAKE M*CBO*K DAN IP**NE BIAR KEREN?!” di YouTube, TipTip, dan Noice.

https://lifestyle.kompas.com/read/2023/10/31/134750420/fenomena-gunakan-barang-mewah-kebutuhan-atau-gengsi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke