Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mencegah Generasi Tanpa Ayah Semakin Parah

"Papaku ada tapi seperti tiada. Ia berangkat kerja sebelum aku bangun, dan baru balik kerja setelah aku tidur. Dia nggak pernah ada di hidupku. Tak pernah mengantarku sekolah, tak pernah menanyakan kabarku, boro-boro peduli dengan diriku. Dia ada secara fisik, tapi tidak secara emosional."

"Oh pantes dia suka mabuk-mabukan, pake narkoba, dan terjerumus seks bebas; ternyata dari kecil ayahnya meninggalkan ibunya. Arah hidupnya nggak jelas. Dia kehilangan figur ayah sejak dini."

Apakah pernyataan seperti di atas tidak asing di telinga Anda? Atau mungkin begitu dekat dengan kehidupan Anda selama ini?

Harus kita akui atau tidak, generasi tanpa ayah (fatherless) ada di sekitar kita. Mereka bukan semata-mata anak yatim yang ditinggal ayahnya wafat.

Namun yang lebih sering banyak terjadi adalah para anak yang ditinggal ayahnya karena cerai, atau bahkan masih tinggal serumah dengan ayahnya, tapi sama sekali tidak diperhatikan.

Tidak adanya ayah dalam kehidupan anak-anak mereka bukanlah hal aneh. David Blankenhorn (1995), penulis Fatherless America, pernah menulis bahwa Amerika Serikat menjadi masyarakat yang semakin tidak memiliki ayah.

Satu generasi yang lalu, seorang anak Amerika dapat berharap untuk tumbuh bersama ayahnya. Saat ini, seorang anak Amerika dapat berharap untuk tidak melakukannya.

Kenyataan tersebut tidaklah berlebihan mengingat menurut studi Biro Sensus AS tahun 2019, hampir 16 juta anak-sekitar 21 persen - hanya tinggal dengan ibu tunggal, dibandingkan dengan 8 persen pada 1960.

Sayangnya, saya tidak menemukan data serupa di Indonesia. Saya belum pernah mendapatkan data komprehensif yang memetakan seberapa tinggi persentase anak-anak Indonesia yang hidup tanpa ayahn mereka, baik secara fisik maupun emosional.

Hanya saja beberapa tahun lalu, negara kita pernah dijuluki sebagai salah satu Fatherless Country terburuk di dunia meskipun bukti pendukungnya (data) masih banyak yang meragukan.

Kendati belum (atau tidak pernah) ada survei ketidakhadiran ayah secara nasional yang diselenggarakan oleh negara, saat ini kita begitu mudah mendapati anak-anak yang hidup tanpa figur ayahnya.

Entah karena ayah bercerai dengan ibu yang menyebabkan akses komunikasi anak terhadap ayah tertutup, maupun anak-anak yang diacuhkan oleh ayahnya dengan dalih kesibukan kerja.

Dampak ketidakhadiran ayah pada anak

Generasi tanpa ayah sejatinya adalah isu yang begitu besar. Pasalnya, akar dari hampir segala masalah sosial entah itu pemerkosaan, pelecehan seksual, "penyimpangan" orientasi seksual, penyalahgunaan narkoba, bunuh diri, kemiskinan, dan berderet bentuk kriminalitas adalah keluarga.

Sebagai contoh, menurut data Biro Sensus AS anak-anak di rumah tanpa ayah hampir empat kali lebih mungkin menjadi miskin.

Pada 2011, sebanyak 12 persen anak-anak dalam keluarga pasangan suami istri hidup dalam kemiskinan, dibandingkan dengan 44 persen anak-anak dalam keluarga ibu saja.

Sementara itu, menurut temuan Edward Kruk, 71 persen kasus putus sekolah menengah adalah yatim piatu. Mereka memiliki lebih banyak masalah secara akademis, mendapat nilai buruk pada tes membaca, matematika, dan keterampilan berpikir.

Anak-anak dari rumah yang tidak memiliki ayah lebih mungkin bolos sekolah, lebih mungkin dikeluarkan dari sekolah, lebih mungkin meninggalkan sekolah pada usia 16 tahun, dan lebih kecil kemungkinannya untuk mencapai kualifikasi akademik dan profesional di masa dewasa.

Penelitian yang menggunakan sampel 1.409 remaja (851 perempuan dan 558 laki – laki) berusia 11-18 tahun, menyelidiki korelasi antara ketidakhadiran ayah dan aktivitas seksual yang dilaporkan sendiri.

Hasilnya mengungkapkan bahwa remaja yang tinggal di rumah tanpa kehadiran ayah lebih cenderung melaporkan aktif secara seksual dibandingkan dengan remaja yang tinggal bersama ayah mereka. Penelitian tersebut pernah dipublikasikan pada National Library of Medicine, Amerika Serikat.

Adapun temuan penelitian Jennifer Rainey sebagaimana yang dirilis webmd.com menyebutkan bahwa anak-anak dari rumah orangtua tunggal lebih dari dua kali lebih mungkin untuk bunuh diri.

Mendapati fakta-fakta di atas, bagaimana dengan respons Anda? Percayakah Anda dengan dampak negatif dari anak-anak yang tidak memiliki figur ayah dalam hidupnya?

Peran ayah yang sesungguhnya

Tumbuh kembang anak sudah semestinya bukan semata-mata tanggung jawab ibu. Karena sejatinya seorang ayah adalah kepala keluarga yang memikul beban lebih besar.

Sudah semestinya ayah untuk tidak hanya fokus mencari nafkah, tapi melupakan aspek-aspek lain. Karena sesungguhnya, ada begitu banyak peran yang dapat dimainkannya sesuai tahap-tahap perkembangan anak.

Jadi, ayah yang ideal adalah ayah yang dapat memainkan beberapa peran sebagai berikut.

Peran pertama adalah pencari nafkah. Ayah adalah tulang punggung keluarga. Meskipun kini banyak perempuan yang juga membantu perekonomian keluarga dengan sama-sama bekerja, namun ayahlah yang paling berperan dalam stabilitas perekonomian keluarga.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa ayah paling bertanggung jawab dengan masa depan keluarganya, khususnya anak-anaknya. Sayangnya, selama ini tidak sedikit para ayah di Tanah Air yang hanya memainkan peran ini.

Peran kedua, ayah adalah pelindung. Ayah yang hebat membantu memastikan keselamatan dan kesejahteraan anak-anak mereka.

Ayahlah yang memastikan keamanan anak-anaknya dari bahaya. Ayahlah yang berperan mewujudkan lingkungan aman, nyaman dan layak untuk tumbung kembang anaknya.

Peran ketiga, ayah sebagai guru. Mengajari anak-anak keterampilan hidup yang penting, menanamkan nilai-nilai dan berbagi pengetahuan adalah bagian inti dari menjadi seorang ayah.

Ayah adalah mentor alami bagi putra-putrinya. Entah dari sesederhana mengajari anak membaca dan naik sepeda, hingga sekompleks dalam mengarahkan jurusan kuliah dan memilih pekerjaan sesuai minat, bakat, kekuatan, dan passion mereka.

Peran keempat, ayah sebagai panutan atau role model. Anak adalah cermin dari ayahnya. Jika ayah mencontohkan yang baik dalam menjaga kebersihan, kecil kemungkinannya anak-anak mereka kelak akan membuang sampang sembarangan.

Bila ayah mencontohkan ketekunan dalam bekerja dan berbisnis, kecil kemungkinan anak-anak mereka untuk menjadi pemalas di kemudian hari.

Peran kelima, ayah sebagai pengasuh. Meskipun pengasuhan cenderung diasosiasikan dengan ibu, ayah juga dapat memberikan dukungan emosional, kenyamanan, dan kasih sayang kepada anak-anaknya. Menjadi tersedia secara emosional dan memberikan cinta dan perhatian sangatlah penting.

Apalagi di "zaman now" seperti sekarang. Anak-anak kita begitu mudah dipengaruhi oleh konten-konten dari televisi dan media sosial atau internet. Jika ayah tidak mengawasi perilaku anak, sudah pasti mereka akan bermasalah di kemudian hari.

Pendidikan pertama dan paling penting adalah keluarga. Tempat penitipan anak maupun sekolah formal dari TK hingga perguruan tinggi tidak cukup untuk membentuk anak yang sukses dan berkarakter tanpa peran ayah.

Peran keenam, ayah sebagai teman bermain. Idealnya, ayah bisa menjadi teman bermain terbaik anaknya. Untuk itu, ayah perlu mengenali jenis-jenis permainan apa yang dapat merangsang kecerdasan anaknya.

Sedari kecil, ayah perlu memberikan berderet jenis permainan yang dapat mengasah kecerdasan majemuk anak. Akan lebih baik jika ayah dapat meluangkan waktu di tengah kesibukannya untuk menemani anak bermain sambil belajar.

Peran ketujuh, ayah sebagai penegak kedisiplinan. Ayah harus mampu bekerja sama dengan ibu dalam menetapkan batasan dan aturan untuk perilaku anak-anak mereka. Mereka berperan dalam mengajarkan disiplin dan tanggung jawab.

Ayah perlu tegas dalam memberikan batasan seberapa lama anak bermain ponsel, mengingatkan anak untuk beribadah, hingga seberapa boleh anak bergaul dengan lawan jenis.

Pada akhirnya, seorang anak yang sukses dan bahagia dibentuk dari kerja sama memainkan peran antara ayah dan ibu.

Jika hanya salah satu orang tua yang peran, itu ibarat burung yang hanya memiliki satu sayap. Sehingga, burung itu tidak dapat terbang tinggi di angkasa sebagaimana seharusnya.

https://lifestyle.kompas.com/read/2024/04/01/144813220/mencegah-generasi-tanpa-ayah-semakin-parah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke