Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Andreas A Prasadja, Dokter Dengkur dari Kemayoran

Kompas.com - 22/12/2008, 10:09 WIB

Tanpa sengaja, dokter muda ini mendalami masalah gangguan tidur. Setelah nyemplung, ia justru makin ketagihan. Kini ia jadi orang pertama di Indonesia yang mendalami masalah ini.

Kenapa Anda tertarik mendalami bidang yang masih langka ini?
Sebenarnya ini kebetulan yang akhirnya jadi ketagihan. Jadi tak sengaja sekarang jadi "dokter tidur".

Kok bisa begitu?
Awalnya dari kebijakan Rumah Sakit Mitra Kemayoran (tempat Andreas bekerja) yang punya visi dan misi ingin menjadi rumah sakit yang paling maju. Maka tahun 2002 dibukalah Sleep Laboratory. Kalau di luar negeri, kan, soal sleep medical ini sangat maju. Tapi dalam perkembangannya kurang baik.

Penyebabnya?
Mungkin karena tenaga medisnya kurang menguasai. Akhirnya, pemilik RS menawarkan kepada saya untuk belajar sleep medical.

Wah, tawaran menarik, dong.
Semula saya agak pesimis. Opo sing dipelajari (apa yang dipelajari) sleep medical itu. Apa menariknya dan gunanya. Tapi ya sudahlah, diterima saja. Akhirnya saya belajar dasar-dasar sleep medical ke Singapura.
Ternyata sleep medical itu luar biasa penting dan menarik.

Pandangan Anda soal ilmu itu jadi terbuka ?
Benar... Saya jadi terbuka. Bahkan sepulang dari Singapura saya malah minta kepada pemilik RS, "Pak...tolong saya disekolahin lagi." Akhirnya, saya mendalami Sleep Medicine and Technology di Universitas Sydney, Australia. Tepatnya dari 28 November-9 Desember 2005. Setelah itu, saya ke Amerika untuk ujian agar diakui secara internasional.
(Setelah lulus dr Andreas yang semula bekerja sebagai dokter umum di RS Mitra Kemayoran berhak menyandang title RPSGT atau Registered Poly-somno-graphic Technologist.)

Ada dokter lain di Indonesia yang juga belajar sleep technology?
Tidak ada. Kebetulan saya yang pertama di Indonesia. Di Malaysia saja belum ada dokter yang belajar soal ini. Anehnya, banyak pejabat Indonesia yang berobat karena gangguan tidur itu ke Malaysia.

Berarti belum tersosialisasikan, dong?
Benar. Memang tugas saya untuk menyosialisasikan.
(Ada beragam cara yang dilakukan Andreas menyosialisasikan soal gangguan tidur ini. Salah satunya lewat sebuah blog (http://sleepclinicjakarta.tblog.com) miliknya yang membahas informasi seputar kesehatan tidur. Andreas juga punya cita-cita menerbitkan buku soal kesehatan tidur yang bisa dibaca masyarakat umum.)

Apa sih yang Anda dapat dari belajar sleep technology?
Sangat menarik mendalami kesehatan tidur. Semula saya beranggapan, gangguan tidur hanya sebatas insomnia, dan penanganannya mau diapain lagi? Paling diberi obat tidur atau ditenang-tenangin. Tapi ternyata gangguan tidur itu banyak sekali. Ada ngorok, sleep talking, sleep walking, narkolepsi, dan sebagainya; dan semua itu tidak saya dapatkan selama kuliah di Fakultas Kedokteran.

Sebenarnya yang paling berbahaya itu apa?
Ngorok alias mendengkur.

Lho, ada yang menganggap, ngorok itu pertanda tidurnya pulas?
Memang ngorok itu ada yang bahaya ada yang tidak; dan selama ini banyak yang menganggap kalau ngorok itu biasa, bukan hal yang berbahaya. Jangankan di sini, di Amerika ada penelitian bahwa 1 banding 5 orang menderita sleep apnea atau berhentinya napas saat tidur karena ngorok; dan celakanya 80 persennya tidak terdeteksi. Di negara maju saja kondisinya seperti itu, apalagi di Indonesia. Jangankan masyarakat umum, dokter juga banyak yang enggak paham. Itu yang membuat banyak gejala OSA tidak terdeteksi.
(Ini dibuktikan saat Andreas akan mengadakan seminar di sebuah RS. Ketika ia mengajukan tema OSA atau Obstructive Sleep Apnea atau berhenti napas saat tidur, panitianya yang juga dokter masih menanyakan apa itu OSA.)

Akibatnya apa jika tidak terdeteksi?
Penanganan yang salah. Misalnya orang yang ngantukan dan cepat capek mungkin kalau itu gejala dari OSA. Tapi orang itu mengira mengidap gula darah.

Bagaimana sih untuk mengetahui apakah ngorok itu bahaya atau tidak?
Saya akan melakukan wawancara dulu. Digali apa keluhannya. Setelah itu baru periksa. Nah, dalam pemeriksaan saya tak pernah menggunakan stetoskop yang selalu menjadi simbol seorang dokter.

Apa dong, alatnya?
Laboratorium tidur. Pasien semalam harus menginap di laboratorium tidur. (Laboratorium ini letaknya di seberang ruang praktek Andreas. Kamar yang kira-kira ukuran 3 x 6 meter ini berisi sebuah tempat tidur, sofa, dan beragam alat untuk mendeteksi "kegiatan" pasien selama tidur. Hasil rekam medik itu terhubung ke sebuah komputer).

Saat pasien tidur direkam napasnya, gelombang otaknya, jantungnya, dan lainnya. Setelah itu baru saya analisa. Seru lho, membaca hasilnya. Kalau membaca rontgent, kan, sekali liat langsung bisa dianalisa. Tapi membaca hasil rekam dari laboratorium tidur itu harus per frame. Satu frame merekam selama 30 detik; dan saya harus membaca rekaman selama dia tidur yang paling tidak antara 6 dan 8 jam. Tidak terbayang kan, berapa banyaknya karena terbagi dalam 30 detik; dan itu harus dibaca satu-satu. Gelombang otaknya dulu, setelah selesai baru jantungnya, napasnya, dan seterusnya.

Perlu dokter dengan kualifikasi khusus untuk membaca hasilnya?
Ya, karena alat dan software-nya juga khusus. Terapinya selain obat juga kami anjurkan pasien memakai alat bantu napas saat tidur. Alat itu berupa masker yang dihubungkan ke sebuah kotak yang bisa memompa udara saat saluran napas tersumbat.

Sebenarnya bagaimana, sih, bisa dikatakan berhenti napas saat ngorok?
Gerakan napas tetap ada, tapi saluran napas tersumbat. Dada tetap naik turun, sementara oksigen drop dan karbondioksida jadi naik. Memang dalam tubuh ada sensor yang mengirim perintah ke otak saat karbondioksida naik. Orang jadi terjaga dan saluran napas terbuka lagi. Tapi meski otak terjaga, orang itu tidak terbangun. Akibatnya, karena otak sering terjaga, maka menjadikan kualitas tidurnya buruk. Bangun jadi tidak segar, capek, sulit konsentrasi, masih ngantuk meski sudah tidur 8 jam, dan lainnya.

Ada efek yang lebih buruk lagi?
Saat otak sering terjaga akan membuat tensi naik. Nadi jadi cepat dan bisa berakibat ke jantung. Metabolisme juga terganggu yang berakibat darah mengental. Risikonya bisa stroke dan jantung koroner.

Omong-omong, jadi dokter cita-cita dari kecil?
Enggak sih. Daftar saja, eh....ternyata diterima. Akhirnya ya, dijalani saja.

Sebenarnya setelah lulus dokter, sudah punya rencana mengambil spesialis apa?
Wah, belum. Tapi begitu ada kesempatan mendalami bidang ini, ya diambil saja. (Andreas adalah dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya, Jakarta, tahun 2002. Suami dari Kristandi Madona, seorang psikolog yang bekerja di sebuah perusahaan swasta ini, 16 Mei mendatang, tepat berusia 33 tahun. Kini ayah dari Khiara Monica ini dipercaya mengelola Sleep Disorder Clinic RS Mitra Kemayoran. Ayahnya seorang pelukis, sementara ibunya apoteker.)

Suka melukis juga?
Enggak tuh. Bakat ayah tidak menurun ke saya.

Anda kalau tidur jam berapa?
Jam 21.30. Saya ini anti-begadang. Lain halnya kalau diajak makan, ayo saja. Prinsip saya, makan banyak, olahraga secukupnya.

Olahraga apa yang biasa Anda lakukan?
Dulu saya masih suka berenang. Tapi sekarang ini sudah tak punya waktu lagi. Paling hanya nyepeda ke kantor yang jaraknya hanya 5 kilo. Selain sebagai olahraga, sepeda juga sebagai hobi.
(Di komunitas pehobi sepeda, Andreas tak pelit berbagi advis kesehatan lewat milis. Ia kerap memberi "pencerahan" soal kesehatan kepada teman-teman komunitasnya).

Tidak dilarang istri nyepeda ke kantor?
Justru dia yang nyuruh./*

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com