Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (198): Karachi

Kompas.com - 08/05/2009, 09:04 WIB

          “Ini Pakistan, man,” kata petugas penarik rekening itu, santai, “jangan terlalu banyak berharap. Oh ya, mari minum teh?”

Satu hal yang saya suka dari Karachi adalah kualitas media yang cukup bagus. Harian Dawn, didirikan oleh sang Quaid-e-Azam sendiri, adalah harian berbahasa Inggris terbaik di kota ini. Harganya memang berlipat-lipat lebih mahal daripada koran di India, tetapi saya selalu sebisa mungkin membeli koran Dawn agar tak ketinggalan berita dan masalah terkini di Pakistan.

Ada laporan menarik tentang penanganan sampah di Karachi yang teramat buruk. Mengapa kota terbesar di Pakistan – yang arti harafiahnya negara bersih atau negeri suci – malah menjadi kota terjorok sedunia? Dari rubrik Surat Pembaca, seorang warga mengkritisi organisasi luar negeri yang memasukkan Pakistan dalam daftar negara gagal. Alasannya, Pakistan punya teknologi nuklir dan menjadi juara kriket kelas dunia. Bagaimana mungkin negara dengan kualitas seperti ini adalah negara gagal?

Kalau menurut pendapat saya, gagal tidaknya negara bukan dari keberhasilan kriket atau kepemilikan nuklir. Saya, sebagai pengunjung di sini, berulang kali terjebak dalam hartal atau mogok massal akibat goncangan politik. Bahkan kasus kartun Denmark (kartun Nabi Muhammad yang dipublikasikan salah satu media di Denmark -red) pun bisa jadi kerusuhan besar di seluruh penjuru negeri.

Beberapa minggu yang lalu terjadi bom bunuh diri di Karachi pada acara peringatan Maulid Nabi yang menewaskan pemimpin Sunni Tehrik. Sejak itu, suasana di Sindh tak pernah damai. Kedua muttahida – partai agama – saling tuduh dan memaksa seluruh kota dan propinsi melaksanakan hartal atau mogok massal. Hartal sungguh tak mengenakkan.

Kemarin, Karachi lagi-lagi dilanda hartal. Semua toko tutup. Bus dan taksi tak boleh beroperasi, semua jalan diblokir. Orang hanya bisa tinggal di rumah atau ikut berdemo. Kota ini pun tertidur.

Koran Dawn hari ini memberitakan betapa gembira pemimpin muttahida akan mogok bersama yang mereka gerakkan. Sebaliknya, rubrik Surat Pembaca hari ini penuh berisi keluhan warga Karachi akan seruan hartal, mogok massal. Pelajar universitas mengeluh karena sekarang waktu ujian dan mereka tidak bisa ke kampus karena tak ada kendaraan. Para pekerja protes karena tak bisa mencari nafkah. Pemilik toko kesal karena ekonomi semakin seret dengan acara mogok-mogokan seperti ini.

“Negara kita sudah terbelakang, pendidikan juga terbelakang, sekarang siswa juga harus punya hari libur lebih banyak gara-gara acara mogok massal,” tulis seorang mahasiswa di rubrik itu.

Selain medianya yang terbuka, yang saya kagumi dari masyarakat Karachi adalah tingkat keberagamannya. Kota ini bisa dikata yang paling kosmopolitan di Pakistan bahkan sejak jauh sebelum Pakistan lahir. Ada komunitas Protestan, Katolik, Parsi, Hindu, bahkan Yahudi dan Ahmadiyah.

Kemudian setelah Pakistan merdeka, mengalirlah imigran Muslim dari India, yang disebut sebagai kaum Mohajer atau pendatang. Mohajer adalah penutur bahasa Urdu, sedangkan waktu itu Karachi dipenuhi orang Sindh. Selama bertahun-tahun pergesekan antar golongan menjadi masalah kemasyarakatan di sini. Karachi semakin kosmopolitan dengan kedatangan berbagai etnis pengungsi dari Afghanistan yang sekarang kebanyakan mendiami pemukiman kumuh dan bocah-bocahnya menjadi pemungut sampah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com