Malang, 1996
SILATURAHMI
sekian kali kukunjungi
makam-makam peradaban di altar persembahan
kita sama merasa asing oleh derapwaktu
dan tahu jalan yang dituju taktentu
beraparibu kita bercumbu
mengurai missteri jarak pendakian
tapi tak satu jua arti bisa dipahami
di atas geriap sayapsayap keasingan
kembali kueja makna pertemuan ini
hingga waktu enggan berbagi
Merenungi Obituari Rembulan
:kado ulang tahun dalam almanak yang pecah
arus sungai mengusung keranda rembulan ke huluan
puntungpuntung kata dan frasa berserak di atas tongkang
yang diayun gelombang. bidukbiduk sayak
bersajak tentang tempoyak, riak dan ombak batanghari
di lapaklapak pasar lopak yang sesak:
rembulan itu hanyut ke seberang lalu tersangkut
di jaringjaring nelayan
rembulan nyaris purnama
sungai memanen riakriak isak sajak
di rerimbun semak seluwang, patin jambal
baung dan arwana merenangi arah arus batanghari
menembus cermin langit dengan kompas di siripsiripnya
sawit pun taklelah melepaskan cangkangcangkangnya:
dan terasa ada yang luruh menjelang subuh
bayang rembulan menyusut saat mentari bangun pagi
balam, murai batu, dan pipit berkompangan
menyanyikan tradisi di dahan pohonpohon tembesi
nelayan menjaring gerhana
dan menyelam di palung paling dalam:
rembulan dan matahari adalah bolabola bilyar
disodok lalu saling berbenturan
satudemisatu bola itu masuk lubang di akhir permainan
di ujung senja angsoangso kecilmu berenang di kedalaman airmata
sebelum pada akhirnya meregang di huluan
pedagang lemang di simpang mayang gamang
memandang gerhana tanpa bintangbintang
tempoyak dan cempedak berteriak serak:
beri aku sajak yang paling tuak!
bengkel puisi swaddaya mandiri jambi, 2007-01-25