Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nasib Tenun Ikat Kediri Masih Bergantung Impor

Kompas.com - 26/04/2011, 03:43 WIB

Kota Kediri memiliki sentra kerajinan tenun ikat yang sudah ada sejak tahun 1980-an. Kini, ada belasan perajin tenun ikat yang terus berproduksi di Jalan KH Agus Salim Gang VIII, Kelurahan Bandar Kidul, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri.

Hingga 1990-an, diakui Siti Ruqayyah, penenun senior di Bandar Kidul, jumlah perajin tenun sekitar 20-an orang. Tapi, lambat laun jumlah perajin tenun ikat Kediri terus berkurang.

Produk tenun ikat Kediri mulai dari sarung goyor, tenun misris, atau tenun semi sutra. Motif asli Kediri yang ditonjolkan adalah motif ceplok.

”Banyak perajin berganti usaha karena dinilai tidak prospek, harga bahan baku kadang tidak setara dengan harga jual. Mereka juga tak memiliki ciri khas tenunan sendiri sehingga kalah bersaing dengan produk lain,” ujar Siti, pekan lalu di Kediri.

Kendala utama lain yakni ketergantungan pada bahan baku impor. Mulai dari benang hingga zat warna. ”Sejak pertengahan 2010 lalu harga benang misris yang kami gunakan naik dua kali lipat. Untuk menaikkan harga jual produk hingga dua kali lipat jelas tak mungkin. Akhirnya perajin memilih tidak banyak berinovasi. Kami hanya bertahan agar tak merugi dan usaha tidak tutup,” kata penenun yang sudah memulai usahanya sejak tahun 1989 itu.

Benang misris sebagai bahan baku utama tenun ikat Kediri diimpor dari India. Semula harganya Rp 400.000 per pak (isi 5 kilogram), kini melonjak hingga Rp 750.000 per pak. Zat warna pun naik dari Rp 160.000 menjadi Rp 200.000 per kg.

Kenaikan harga itu diimbangi dengan menaikkan harga jual kain tenun misris. Sebelumnya harga sepotong kain (panjang 2 meter) senilai Rp 100.000 per lembar, kini menjadi Rp 125.000 per lembar. ”Kenaikan itu karena di India terjadi gagal panen kapas,” kata Siti.

Harividyanti, kolektor kain batik dan tenun nusantara asal Kota Malang menuturkan, selama ini tenun nusantara belum seperti batik. Diduga dipicu bahan baku tenun tidak segampang batik. Lalu perkembangan tenun jadi lambat.

Data dari Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat (Balittas) Departemen Pertanian di Karangploso, Kabupaten Malang, dua tahun lalu, menyebutkan, minat petani untuk menanam kapas tidak sebaik dengan produk pertanian lain. Tahun 1980, total lahan perkebunan kapas di Indonesia mencapai 50.000 hektar (ha). Jika produksi kapas sekitar 600 kilogram per hektar, berarti total produksi saat itu mencapai 30.000 ton.

Kini kondisinya berbeda. Dua tahun lalu Indonesia hanya ada 14.000 ha lahan kapas dengan volume produksi 8.400 ton. Kapas lokal hanya mampu mencukupi kurang dari lima persen kebutuhan nasional.

Kebutuhan kapas nasional tahun 2004-2005 sekitar 510.000 ton. Sementara produksi serat kapas di dalam negeri berkisar 1.600–2.500 ton. Artinya, sebanyak 95 persen bahan utama tekstil Indonesia masih diimpor.

Padahal Balittas mencatat Indonesia adalah negara produsen tekstil nomor lima di dunia dengan kapasitas industri 7,8 juta mata pintal. Volume ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) pada tahun 2005 mencapai 8,59 miliar dollar AS.

Kini ada tujuh provinsi di Indonesia menjadi sentra produsen kapas. Tujuh daerah itu, Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, dan Sulawesi Selatan. Daerah tersebut cocok untuk mengembangkan kapas karena memiliki iklim tegas antara musim kemarau dan musim hujan.

Pemulia kapas Balittas, Emy Sulistyowati, mengatakan minat petani menanam kapas rendah. Pemicu antara lain harga belum kompetitif, dan maraknya hama kapas. Padahal, potensi kapas di Indonesia sangat besar. (DIA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com