Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sekolah di Antara Beban Ekonomi

Kompas.com - 18/05/2012, 09:03 WIB

Kakak Robi, Meilinda (17), bersekolah di SMK Bina Ihsan (sekitar 300 meter dari rumah mereka). Tureni kewalahan membiayai sekolah anak sulungnya itu. Sekitar Rp 85.000 untuk iuran sekolah. Untuk praktik kerja lapangan Rp 450.000.

Suami Tureni yang bekerja sebagai buruh bangunan mendapatkan upah Rp 40.000 per hari. Namun, dia sering menganggur karena tak ada pekerjaan. Tureni kadang kala diminta mencucikan baju tetangga dengan imbalan Rp 25.000 per hari.

Robi kini menumpang di rumah Ujang Zakaria, guru mengaji yang memiliki pondok untuk menampung siswa-siswi putus sekolah dan yatim piatu. Di sana, Robi membantu membersihkan kolam dan memberi makan lele.

”Saya sudah berkali-kali menyuruh Robi kembali sekolah. Namun, dia tetap bandel tak mau sekolah,” kata Ujang yang berjanji membiayai sekolah Robi seandainya anak itu mau sekolah.

Robi mengaku sulit belajar. ”Saya susah belajar Matematika dan Bahasa Inggris,” katanya. ”Lebih enak bekerja dan belajar di pondok membantu Pak Ustaz,” katanya.

Faktor sosial-ekonomi dan minimnya kesadaran keluarga akan pentingnya pendidikan agaknya membuat Robi berhenti sekolah. Namun, dia sulit menerangkan saat ditanya mengapa berhenti sekolah? ”Enggak apa-apa. Saya bekerja saja,” ujarnya singkat.

Kondisi serupa dialami Asep, teman Robi yang sudah berhenti sekolah sejak kelas IV SD. Ia ingin belajar mengaji di tempat Ustaz Ujang sambil bekerja. ”Kalau belajarnya di kelas pusing. Kalau di tempat Pak Ustaz bisa dapat makan dan uang jajan,” katanya.

Berdasarkan data Dinas Pendidikan Kabupaten Cirebon, tahun 2010-2011 siswa putus sekolah di daerah itu meliputi 990 siswa SD, 631 siswa SMP, 188 siswa SMA, dan 274 siswa SMK.

Antropolog Universitas Padjadjaran, Bandung, Budi Rajab, mengatakan, pendidikan formal di Tanah Air tidak memberikan kepastian kesejahteraan dan perbaikan nasib kepada masyarakat kelas menengah ke bawah.

”Sekarang, kelompok kelas bawah hanya mampu bersekolah sampai SMA. Saat bekerja sebagai buruh di pabrik, upahnya tak jauh berbeda dengan lulusan SMP. Jadi, kenapa harus sekolah sampai SMA?” ungkapnya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com