Kita tentu tahu betapa para frontliner dilatih keras untuk menampilkan empati dan segera menyatakan permohonan maaf saat ada produk, servis atau situasi yang tidak berkenan bagi pelanggan.
Tindakan meminta maaf ini jelas sangat kritikal untuk memastikan pelanggan tidak makin kecewa, hubungan tidak rusak, bahkan kemudian mengharapkan situasi ini membuat pelanggan semakin “engaged”.
Ini contoh nyata betapa “maaf” merupakan alat ampuh untuk mereparasi hubungan.
Dalam kerja tim dan organisasi, di mana kita tidak mungkin menghindari situasi konflik dan sakit hati, jelas berlaku pula hal yang sama.
Baca juga: Cegah Konflik, Ini 3 Cara Meminta Maaf pada Pasangan
Meski dengan niat baik, kadang kita mengeluarkan kata kasar, mencerca, mendiskreditkan rekan kerja, bawahan atau bahkan atasan, yang menyebabkan hubungan interpersonal terlukai.
Kita tentu bisa membayangkan betapa permintaan maaf bisa memfasilitasi perbaikan hubungan, bahkan menghindari perginya seseorang dari tim.
Permintaan maaf di budaya barat banyak diartikan sebagai pengakuan bahwa seseorang bertanggung jawab terhadap situasi yang terjadi.
Sementara, dalam budaya Jepang, permintaan maaf lebih mengungkapkan "rasa menyesal" bahwa situasi itu terjadi.
Apa pun latar belakangnya, permintaan maaf sebenarnya bisa menggambarkan kematangan emosional seseorang.
Saat meminta maaf, individu sebetulnya menyalurkan emosi positifnya. Inilah sesungguhnya yang merupakan latihan menuju tingkat kematangan emosi yang lebih tinggi.