Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Papua, Mereka Dimiskinkan di Tanah yang Kaya

Kompas.com - 19/01/2018, 19:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

KOMPAS.com - Judul di atas saya pinjam dari ucapan sejawat yang pernah bertugas sebagai dokter di tanah Papua.

Ricuhnya temuan sekian ratus anak gizi buruk di kabupaten Asmat dan merebaknya campak yang merenggut nyawa, mungkin bisa menjadi penggugah tentang apa yang perlu diingat saat semua orang berpusat pada tayangan Pilkada. Dan tentunya, harga mahal yang harus dibayar jika uang tersedot ke sana.

Saat tulisan ini dibuat, saya berada di kawasan super megapolitan yang rasanya semua orang ingin punya kesempatan untuk berkunjung dan mengagumi Burj Khalifa sebagai ikonnya.

Dubai menghapus pandangan orang tentang banyak hal sekaligus membangunkan inspirasi baru seputar manusia dan komunitasnya. Hubungannya dengan gizi buruk di Asmat? Ada, erat dan masuk akal.

Penduduk Dubai asli sesungguhnya hanya kurang dari 20 persen. Dipisahkan hanya oleh laut Arab, di seberang jazirah ini terdapat daratan India, Pakistan dan Bangladesh.

Bisa ditebak, juraganDubai mempekerjakan para pendatang yang menguasai 80 persen populasi penduduk.

Filipina sebagai ‘pemasok tenaga kerja wanita’ juga memberikan aksen pada komunitas pekerja di negri sarat kemewahan ini.

Bagaikan benang halus tak kasat mata, namun bisa dirasakan – nampak jelas perbedaan para Emirati dan ekspatriat.

Terbalik jauh dengan yang kita saksikan di Indonesia, dimana justru kaum ekspat seakan-akan menjadi juragan dan penduduk lokal hanya bekerja sebagai pelayan mereka.

Dubai tempat para pendatang berebut mendapatkan pasar dan mengiba pekerjaan kepada Emirati yang jumlahnya tidak banyak, tapi memegang kendali dan modal.

Sementara di tanah air, justru penduduk lokal yang ratusan juta ini tidak punya kendali apalagi modal. Bahkan, sampai harus menawarkan pasar ke luar dan menjajakan diri.

Oh maaf, penduduk lokal kita memang masih ada segelintir yang pegang kendali – yang jika menyalahgunakan modal (yang bukan milik pribadi), maka tidak heran situasi Asmat akan terus terjadi berulang.

Sejawat saya yang sudah menjadi perempuan beranak dua itu adalah dokter keturunan Cina yang begitu cinta dengan Papua. Ia menangis dan rindu ingin ‘pulang ke Papua’.

Kendala terbesar saat masa tugasnya berakhir adalah keterbatasan pendidikan untuk anak-anaknya sendiri.

Ia pemakan ulat sagu, yang katanya enak luar biasa seperti daging ayam dan papeda ikan kuah kuning pun jadi menu andalan, agar anak terbebas dari stunting.

 

Lempar kangkung tumbuh kangkung, tancap pisang muncul pisang lagi – mustahil Papua menderita gizi buruk, jika semua orang bekerja sesuai dengan kompetensi dan amanat.

Faktanya, pendatang atas nama perusahaan asing bermodal kekuatan kontrak bersliweran mengeruk Papua hingga lubang besar menganga di tengah pulau berlimpah emas dan simpanan kekayaan bumi yang sengaja Tuhan titipkan.

Dokter perusahaan asing menikmati banyak fasilitas termasuk kemudahan – dan agar tidak terlalu mencolok, tentu program kesehatan bukan cuma dinikmati pekerja perusahaan.

Mereka juga menaburkan ‘icip-icip’ berobat gratis untuk ‘penduduk sekitar’ yang hanya sekian persen dibanding total populasi Papua.


Papua Bagaikan Afrika di Tanah Air Indonesia

Di sisi lain, mayoritas rakyat pedalaman tak terjamah, hidup di tengah rawa dan mencari makan di hutan hingga kehilangan makna.

Yang amat menarik, pemerintah daerahnya justru ‘terkejut’ mendengar penderitaan sekian banyak rakyatnya lewat pemberitaan media. Begitu mengerikannya otonomi berada di tangan yang khilaf amanat.

Rakyat Papua mustahil memahami Gerakan Masyarakat Hidup Sehat sebagai Inpres pertama di bulan Januari 2017.

Sudah setahun gaungnya, deklarasinya, semboyannya, beredar – di level pelatihan dan sosialisasi pejabat kesehatan.

Padahal, Germas bukan urusan kesehatan saja. Kerja ramai-ramai borongan antar kementerian, lintas dinas. Demi percepatan pembangunan – agar sehat rakyatnya, kuat bangsanya.

Bahagia belum tentu, karena semua harus punya budaya kerja yang baru, bernama revolusi mental – jargon sulit karena mentalitas secara psikologi sosial sudah menjadi ‘normalitas’ sehari-hari.

Sayangnya, - jangankan Germas, penduduk Papua barangkali hanya kenal istilah ‘pengobatan gratis’ menjelang Pilkada.

Dan di saat deru angin gizi buruk melanda, bisa jadi bagi-bagi susu formula dan makanan kemasan menjadi metode baru menarik simpati, sekaligus cara baru mematikan generasi emas Papua.

Sementara, seorang perempuan di sana biasa melahirkan 10 hingga 12 kali sepanjang hidupnya, dan terbiasa dengan sekian banyak balitanya yang mati.

Papua jadi mirip wajah Afrika di tanah air sendiri. Anak-anak di pedalaman berperut buncit akibat cacingan atau pembesaran limpa, karena malaria.

Sedangkan, sebagian kecil oknum dewasanya di kota berperut buncit, akibat makan berlebihan dan mulai menderita hipertensi serta diabetes akibat makan nasi seperti orang Jawa dan sarapan roti.

Menjadi ‘tuan yang miskin’ di tanah yang kaya, sungguh ironi bagi masyarakat Papua. Lebih miris lagi, pendatang menggerogoti sambil membiarkan mereka tetap miskin dan bodoh.

Sehingga, ada alasan jika publik dunia mempertanyakannya. Orang Papua malas dan bodoh. Sial sekali.

Dibutuhkan lebih dari sekadar sistem, survailans, atau semua program-program bagus yang tercetak di brosur dan buku modul yang menghabiskan uang itu.

Bisa jadi pemimpin Papua harus dipilih dengan cara yang ‘agak sedikit beda’ persyaratannya, mengingat medannya berbeda.

Atau pelatihan-pelatihan jangan lagi diadakan di pusat, melainkan yang memberi pelatihan justru masuk ke kabupaten yang penuh rawa dan parasit malaria itu. Berhadapan langsung dengan isolasi geografis dan tradisi. Nah, baru cocok dengan realita.

Di tengah prihatinnya kita dengan ini semua, semoga publik tidak lagi dibutakan oleh foto-foto artis Indonesia yang berlibur dengan harta karun milyaran dan memberikan ilusi palsu tentang kebahagiaan.

Sebab faktanya, Dubai yang bergelimang emas berlian pun tidak memberikan ‘vibe’ soal harga nilai kemanusiaan. Karena harta manusia dan harga manusia, perbedaannya amatlah jauh sekali.

[Baca juga : Radikal atau Rasional: Ekstrim atau Lazim? ] 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com