Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Mengapa Harus Mengandalkan Makanan Kemasan di Negeri yang Kaya?

Kompas.com - 01/05/2018, 09:25 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 Iklan dan mitos yang tak terkalahkan

Albert Bandura menunjukkan, betapa ampuhnya citra model atau ‘panutan’ dalam berjualan. Pangan yang mendapat preferensi tertinggi, tentu yang mempunyai daya hipnosis ampuh.

Rajin beriklan, rajin menempatkan pakar untuk justifikasi, rajin menampilkan dunia ideal yang menjadi impian konsumennya.

Itu yang membuat sarapan anak zaman now, berisi setangkup roti putih berisi olesan coklat atau selembar keju olahan (karena perut kita berontak mengonsumsi keju sungguhan).

Komposisi pangan yang amat jauh dari slogan ‘Isi Piringku’ dengan gambar ideal separuh piring berisi sayur dan buah.

Yang tak kalah menarik, adanya mitos yang beredar tentang konsumsi telur, ayam dan ikan – berhembus kencang di masyarakat, walaupun pakar gizi mati-matian menepis.

[Baca juga : Papua, Mereka Dimiskinkan di Tanah yang Kaya]

Sebaliknya, sekali pun cukup banyak pakar gizi mengkritisi iklan lebay tentang manfaat susu di usia pertumbuhan, publik tetap mengejarnya “demi gizi anak-anak”, kata mereka.

Rangkaian teknologi, industri dan promosi yang tak elak merupakan investasi ekonomi membuat susu yang 80% bahan bakunya masih impor mempunyai kedudukan khusus. Mahal pun dikejar.

Alhasil, jenis produksi apa pun selama ada embel-embel ‘mengandung susu’ menikmati dongkrak kasta, seperti sop kaki kambing yang nampak kampungan dan dinilai kurang sehat jika menggunakan santan ketimbang susu.

Sementara telur dan ayam yang 100% produk lokal, dengan alasan masalah penyimpanan dan rantai transport yang lebih ribet menduduki peringkat ‘kurang diminati’.

Dan memang tidak ada peternak ayam dan telur yang mampu memberi gratifikasi petugas kesehatan hingga bisa merenovasi kliniknya.

[Baca juga : Radikal atau Rasional: Ekstrim atau Lazim?]

Makanan kemasan justru jadi sumber kerawanan gizi

Urusan semakin runyam, jika kita bicara sayur dan buah yang jauh dari peminat (kecuali dibuat jus atau yoghurt bergula).

Saya sedih jika ada pakar dan penasihat petinggi negeri ini, mengusulkan pemberian pangan tambahan bagi kelompok rentan, berupa kemasan, yang justru menjadi salah satu kontributor kemiskinan dan kerawanan gizi.

Sudah saatnya kita mengajar mereka untuk makan dengan kekayaan yang diberikan tanah airnya.

Untuk bisa mengakses itu, dibutuhkan pendidikan kembali pada pengasuhan diri dan keluarga yang benar, kembali pada keterampilan mengolah pangan – bukan membeli kepraktisan.

Dan di atas semuanya, dibutuhkan orang-orang berkehendak baik yang ikhlas mengurus negeri ini, bukan tentang mengejar kedudukan.

[Baca juga : Gizi, Vaksinasi, Edukasi: Tiga Pilar Membangun Generasi]

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com