Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 16/10/2018, 06:13 WIB
Nabilla Tashandra,
Wisnubrata

Tim Redaksi

Keduanya baru mengetahui bahwa RSCM ternyata baru saja membuka klinik khusus adiksi games yang fokus menangani kasus seperti yang dialami putra mereka.

Sri tertawa geli ketika mengingat momentum pertama membawa Afit ke RSCM. Saat itu, ia terpaksa berbohong karena putranya pernah menolak dibawa ke dokter.

“Waktu itu saya bilang minta temani ke dokter gigi,” kata dia.

Ia merasa lega ketika dr. Siste mengatakan bahwa adiksi yang dialami putranya belum parah. Padahal, sebelumnya Sri sempat sangat khawatir hingga berpikiran memindahkan sekolah Afit ke Jakarta agar aktivitasnya lebih mudah dikontrol.

Apalagi, Sri mendapatkan informasi bahwa kategori kecanduan yang sudah berat bisa mempengaruhi orang sedahsyat narkoba.

Baca juga: Kapan Kecanduan Game Dianggap Penyakit Mental Menurut Standar WHO

Terlepas dari kebiasaan bermain games tersebut, Sri bersyukur putranya masih memiliki rasa tanggungjawab terhadap studi yang tengah dijalaninya. Afit pun masih menjalankan tugas kuliah seperti biasa.

Sri memahami bahwa persoalan games ini tak hanya dialami oleh putranya. Ia berharap, pengalamannya bisa memberi pencerahan pada orangtua lain untuk menghadapi anaknya jika ada indikasi kecanduan games atau kecanduan perilaku lainnya.

“Supaya orangtua enggak salah langkah. Kan banyak yang enggak tahu kalau ada kasus seperti ini dibawanya kemana,” ujar Sri.

Dari tiga pertemuan bersama dr. Siste, Afit diminta mengisi serangkaian tes kemudian melakukan sesi tanya-jawab.

Pertemuan tersebut berbentuk seperti sesi konsultasi yang dilakukan di Poli Psikiatri RSCM. Beberapa pertanyaan ditanyakan, misal alasan bermain games, pribadi Afit hingga lingkungan sekitarnya.

Pada pertemuan keempat, akan kembali dilaksanakan tes.

“Minggu depan mau ada lagi satu tes final, (untuk tahu) dikasih obat atau enggak. Dari kemarin belum dikasih obat apa-apa,” kata Afit bercerita.

Pada waktu SMA, Afit sebetulnya mulai bermain Mobile Legends karena coba-coba. Namun, ia mengaku keasyikan dan pada akhirnya keterusan.

Afit sempat berkeinginan untuk mengikuti unit kegiatan mahasiswa (UKM) fotografi. Namun, hal itu urung dilakukan karena kesibukan semester awal kuliah yang terlalu padat.

Di balik aktivitas bermain games tersebut, sebetulnya Afit sempat berkeinginan untuk serius dan mengikuti turnamen yang ada. Namun, karena games tersebut dimainkan secara tim, faktor kecocokan waktu menjadi kesulitan lain.

“Kemarin kan sempat main di sekitar kampus, tapi belum tentu saat kita luang teman juga luang. Jadi ya sudah mundur (turnamen) dulu saja,” katanya.

Baca juga: Bermain Game Mampu Hilangkan Stres. Benarkah?

Dari sejumlah pertemuan yang sudah dilakukannya dengan dr. Siste, Afit menunjukkan usahanya untuk berubah dari kebiasaan main games yang membuat banyak aktivitas lainnya terbengkalai.

Apalagi, ibu Afit pernah bercerita bahwa kuliah putranya saat ini adalah double degree alias bisa mendapatkan satu lagi gelar dari universitas mitra. Afit, kata sang ibu, ingin sekali pergi ke Jepang.

“Yaa berubahnya perlahan ya, enggak bisa langsung,” ucap Afit.

Afit adalah satu dari sejumlah pasien yang ditangani di Klinik adiksi perilaku RSCM, Jakarta. Klinik ini baru dibuka sejak Mei 2018 lalu dan merupakan klinik pertama dan satu-satunya di Indonesia yang dibuka untuk masalah adiksi perilaku.

Siste yang juga Kepala Departmen Medik Kesehatan Jiwa RSCM-FKUI menjelaskan, kecanduan gawai termasuk ke dalam kecanduan non zat atau kecanduan perilaku.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com