KOMPAS.com— Angka perceraian di China dilaporkan meningkat setelah masa karantina pandemi Covid-19 berakhir. Sepertinya, "terjebak" hanya di rumah saja bersama pasangan meningkatkan intensitas konflik rumah tangga.
Lu Shijun, manajer pencatatan pernikahan di Dazhou, Provinsi Sichuan, menceritakan ada 300 pasangan yang hendak bercerai sejak 24 Februari.
"Jumlah pasangan yang bercerai melonjak jika dibandingkan sebelumnya (wabah menyebar)," kata Lu seperti dikutip Daily Mail.
Belum diketahui apakah fenomena serupa juga akan ditemui di negara-negara lain yang juga menerapkan kebijakan masa karantina wilayah.
Di Indonesia sendiri, masa pembatasan sosial baru berjalan selama tiga minggu belakangan. Namun, kejadian pertengkaran antara suami istri bukan hal yang aneh jika terjadi.
Menurut psikolog keluarga dan pernikahan, Nadya Pramesrasni M. Psi, perceraian setelah karantina kemungkinan terjadi karena adanya emptyness syndrome atau sarang kosong yang hadir di antara pasangan.
Seharusnya, sindrom ini terjadi di usia 50-60 tahun, dimana masing-masing individu sudah pensiun dan anak-anak sudah mulai hidup mandiri.
“Jadi tidak ada distraksi lain, benar-benar terlihat nyata semuanya,” ungkap Nadya saat dihubungi Kompas.com belum lama ini.
Baca juga: Buat Jarak dengan Pasangan Selama Masa Karantina demi Cegah Konflik
Sebenarnya, konflik tersebut sudah hadir sebelum karantina terjadi. Namun saat harus berada terus di rumah tanpa menjalani kegiatan lain, ditambah lagi intensitas pertemuan yang tinggi, membuat masalah semakin nyata.
Alih-alih takut menghadapi masalah selama karantina, Nadya menyarankan pasangan untuk menjadikan ini sebagai momentum untuk merampungkan masalah.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan