Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 23/06/2020, 11:59 WIB
Nabilla Tashandra,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Hukum permintaan dan penawaran dalam ilmu ekonomi mengungkap adanya hubungan yang bersifat negatif antara harga dengan jumlah barang yang dicari (demand).

Artinya, apa pengaruh dari hubungan antara ketersediaan produk tertentu dan permintaan/kebutuhan konsumen terhadap harganya.

Ketika permintaan terhadap suatu barang meningkat, dan pasokan menurun, maka harga akan cenderung naik.

Hal itu pula yang diduga terjadi pada fenomena melambungnya harga jual sepeda lipat buatan London, Inggris, Brompton, di pasar Indonesia.

Baca juga: Beli Brompton Rp 250 Juta? Mikir, Mending Jalan-jalan ke London...

Pakar Marketing & Managing Partner Inventure, Yuswohady dalam perbincangan dengan Kompas.com, mengungkap pandangan tentang fenomena kenaikan drastis harga Brompton.

Yuswohady menyebut, di luar hukum permintaan dan penawaran itu, pasar di Indonesia memang memiliki keunikannya sendiri.

Fungsi vs gengsi

"Orang (Indonesia) itu kalau sesuatu mahal, dipakai oleh -katakanlah direktur gitu, terus jadi mempunyai nilai gengsi tinggi."

"Jadi saya kira ini fenomena kayak kalau saham, 'goreng' saham. Orang Indonesia kan begitu ada sesuatu yang trending, responsnya langsung cepat," cetus dia.

Sepeda BSHUTTERSTOCK Sepeda B

Yuswohady tak membantah jika secara fungsional sepeda menjadi kebutuhan yang "booming" di tengah masyarakat. Apalagi di era pandemi Covid-19, untuk menghindari transportasi umum.

"Tapi di Indonesia, Jakarta, jalur sepeda kan masih terbatas, belum menunjang. Tapi orang-orang sini banyak sok-sok-an-nya," kata dia.

"Kalau di luar negeri kan orang memang fungsional, ke rumah sakit, supermarket, dan lain-lain."

Baca juga: Pahami, Mengapa Harga Sepeda Brompton Mahal...

"Naik angkutan umum takut, maka transportasi yang kompetitif ya sepeda," sebut dia. 

Yuswohady tak melihat keadaan itu di Indonesia, khususnya Jakarta. "Kan orang tetap naik mobil, angkutan umum, dan sebagainya. Jadi sepedanya sebenarnya biasa saja," ujar dia.

"Tapi kadang ketika terjadi tren global, di sini bukan fungsional, lebih ke gengsinya," tegas Yuswohady.

Yuswohady lalu memperkirakan, fenomena kenaikan harga Brompton akan berlangsung sesaat.Meskipun, secara fungsional, pondasi dari tren bersepeda tergolong kuat.

"Pertama untuk sehat, lalu (kedua) untuk menghindari transportasi dalam kota untuk menghindari Covid-19," sebut dia.

"Segmen ketiga yang karena gengsi. Gengsi juga nggak sepenuhnya gengsi sih, mereka tetap cari sehat juga, naik sepeda. Tapi aspek gengsinya nanti dipotret, ditaruh Instagram."

"Ngomongnya enggak gengsi, tapi uncinsciously (tak sadar) dia ingin menunjukkan bahwa sepedaku harganya sekian," kata dia.

Dalam konteks ini, secara fungsional kebutuhan bersepeda memang ada. Tetapi, untuk tren yang lebih kental dengan sisi emosional, tak akan bertahan lama.

"Barusan aku survei, tiga prioritas kebutuhan dasar keluarga, makanan, kesehatan dan digital," cetus Yuswohady.

Baca juga: Cerita Brompton Mahal Dikira Sepeda Kreuz Bandung, duh...

Dari survei itu terlihat bahwa pola pembelanjaan keluarga bergeser, di mana kesehatan menjadi prioritas.

"Makanya, aktivitas kayak yoga, berkebun, bersepeda, yang wellbeing akan meningkat. Apalagi entertainment hanya bisa home entertainment. Termasuk sepeda."

"Jadi sepeda ini sehat, menghindari Covid-19, dan wellbeing dalam rangka untuk hiburan, gengsi. Jadi dapatnya berlipat-lipat," kata dia lagi.

Dengan segala tinjauan tersebut, maka tak mengherankan jika tren sepeda bakal terus berkembang, termasuk market-nya.

"(Tapi) kalau yang berlebih-lebihan enggak akan lama. Market-nya akan grow, dan merek sepeda lokal akan bermunculan menyaingi Brompton itu."

Perbedaan segmen

Sepeda lipat BromptonSHUTTERSTOCK Sepeda lipat Brompton
Yuswohady lalu menjelaskan tentang perbedaan segmen pengguna sepeda, berdasarkan kelas ekonominya.

Dia menyebutkan, pada segmen ekonomi bawah, harga barang -dalam hal ini sepeda, akan tergantung persaingan.

Baca juga: Beli Brompton Harga Rp 200 Juta, Gangguan Jiwa?

"Artinya customer akan membandingkan. Ketika pemainnya banyak, diferensiasinya antara satu sepeda dengan lain bedanya jauh, dia akan cenderung, kalau demand gede harga akan turun,"

"Tapi karena pasarnya gede, volumenya gede, profitnya enggak akan turun karena main di volume. Itu untuk segmen menengah bawah," tegas dia.

Sementara, hal yang berbeda terjadi pada segmen ekonomi atas.

Kelompok ini, menurut Yuswohady tak bergantung pada daya beli. "Berapa pun akan dibeli," sebut dia. 

"Brompton itu di segmen yang itu, jadi mau dikasih harga berapa pun demand enggak akan turun," kata Yuswohady.

Kalau pun ada merek lain yang membuat model meniru Brompton, maka pasarnya akan cenderung stabil.

"Karena kadang orang yang punya duit, kalau enggak mahal, dia enggak mau. Jadi yang satu gengsi, yang satu lagi value: cari kuatnya, awetnya, modelnya."

Baca juga: Enggak Tega Beli Brompton? Coba Lirik Sepeda-sepeda Ini...

"Kalau gengsi, mungkin limited edition dan sebegainya, harga akan cenderung naik terus."

"Jadi satu market kecenderungannya (harga) turun, tapi main volume, yang (segmen) kedua enggak main volume."

"Makin sedikit malah lebih bagus, tapi harga consistently naik terus karena mau harga berapa pun customer akan beli. Tapi memang marketnya niche, ngga gede."

"Mahal itu kan karena nyari eksklusivitas," sebut Yuswohady.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com