Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 12/01/2022, 19:00 WIB
Gading Perkasa,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

Sumber Parents

KOMPAS.com - Pola asuh helicopter parenting adalah istilah lain dari pola asuh orangtua yang terlalu protektif pada anak.

Orangtua yang menerapkan metode parenting ini cenderung berlebihan dalam melindungi, serta mengatur segala sesuatu terkait anak, sehingga anak sulit mandiri ketika beranjak dewasa.

"Ketika kita melihat anak menderita, dorongan genetik kita adalah bergegas ikut campur dan membantu," kata Annie Fox, penasihat ahli parenting di Understood.org.

"Jika orangtua terlalu ikut campur, kita dapat menghambat pertumbuhan anak dan ketahanan yang mungkin dia pelajari dalam menghadapi tantangan."

Baca juga: Mengenal Penyebab dan Dampak Helicopter Parenting terhadap Anak

Namun demikian ada lima pelajaran yang dapat diambil dari konsep helicopter parenting.

1. Tahu kapan waktunya melangkah dan mundur

"Saya sebenarnya menyukai gagasan hovering karena itu menyiratkan kedekatan," kata Fox.

Menurut Fox, hovering adalah bagaimana orangtua memahami anak dengan baik dan mengetahui apa yang dibutuhkan anak.

"Kita menyadari kapan harus melangkah, dan kapan harus mundur, dan kita lakukan itu."

2. Tidak merasa paling tahu mengatasi masalah

Sebagai orangtua, jangan menganggap cara kita dalam memecahkan masalah adalah cara terbaik.

Anak memiliki pandangan dan pemahaman sendiri terkait bagaimana suatu masalah memengaruhi dirinya.

Pola asuh helikopter yang sehat bisa diterapkan dengan melihat sekilas aktivitas sehari-hari anak untuk memastikan ketika ada sesuatu yang tidak beres.

Fox mengatakan, apabila ada masalah, barulah kita turun untuk memberikan bantuan.

Ia lantas mengingatkan orangtua untuk tidak mengatakan kita merasa tahu lebih baik daripada anak mengenai apa yang anak butuhkan.

"Jika kita tidak yakin, tanyakan. Anak yang kesulitan dengan matematika mungkin berkata, 'saya tidak perlu bantuan mengerjakan soal saya, tapi saya senang saat ada yang duduk di sebelah saya'," kata Fox mencontohkan.

"Tentu kita bisa melakukannya, dan sementara itu, tugas matematika bisa diselesaikan."

3. Memiliki pandangan yang lebih luas

Saat melihat tanda bahaya dari anak tentang pengalaman sekolah mereka, turunlah untuk membantu.

"Sekolah adalah tempat di mana kebutuhan fisik, sosial, emosional, dan kreatif kita mulai terpenuhi, dan kita belajar keterampilan untuk memertahankan hubungan."

Juga, sekolah adalah tempat di mana anak belajar tentang pengendalian diri dan disiplin diri.

Orangtua perlu mempertimbangkan sistem pendidikan yang diajarkan kepada anak. Siapa tahu, ada cara lain yang menurut anak bisa diterapkan jauh lebih baik.

4. Mengajak anak berkomunikasi

Batasan yang sehat antara orangtua dan anak sangat penting, terutama seiring bertambahnya usia anak.

"Percayalah, ketika anak tidak mempermasalahkan konflik dengan teman sebaya, anak di usia 11-15 tahun mengeluh tentang ibu," kata Fox.

Baca juga: Benarkah Pola Asuh Helicopter Parenting Buruk untuk Anak?

Salah satu cara untuk mendorong percakapan terbuka dan berkelanjutan dengan rasa saling menghormati adalah mengundang anak ke dalam "helikopter" untuk mendapatkan pandangan luas tentang lingkungan sosialnya.

"Anak perempuan khususnya senang berbicara tentang hubungan," tutur Fox.

"Buatlah bagan lanskap sosial di sekolah dan mintalah laporan kemajuan tentang hubungan itu pada anak."

"Tunjukkan minat kita pada dinamika sosial tanpa menilai. Besar kemungkinan hal itu akan terlihat berbeda untuk kita dan anak," imbuh dia.

5. Berkomunikasi tatap muka

"Pesan singkat bukanlah cara terbaik untuk memproses emosi atau melakukan percakapan, tetapi ini adalah norma budaya yang tidak pernah dialami anak," ungkap Fox.

Lebih lanjut Fox mengatakan, apabila orangtua mengetahui anak kurang memiliki rasa empati, segera lakukan tindakan.

"Cetak pesan singkat antara kita dan anak, lalu minta untuk membaca kertas itu satu sama lain," sebut Fox.

"Bicarakan tentang bagaimana rasanya saat kita memegang kertas. Tanyakan kepada anak apa lagi yang bisa dia lakukan daripada sekadar mengirimkan pesan teks atau pesan instan."

"Saya selalu mengingatkan para orangtua, mereka adalah generasi terakhir yang tidak tumbuh dengan realitas virtual," sebut dia.

"Jika kita tidak menunjukkan kepada anak bahwa ada lebih banyak cara untuk berhubungan dengan orang lain, maka anak tidak akan mengetahuinya dan mungkin tidak akan pernah memahaminya."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber Parents
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com