KOMPAS.com - Mungkin, sudah beberapa hari kita terus melihat berita tentang perang antara Rusia dan Ukraina, entah itu di televisi, maupun di media sosial.
Di media sosial khususnya, foto-foto dan video “disturbing” seperti mayat-mayat dengan kondisi mengenaskan dan kehancuran kota, membuat siapa pun yang melihatnya bergidik ngeri.
Memang, seharusnya itu tak lagi membuat kita kaget. Pasalnya, ini bukan pertama kalinya media sosial dijadikan sumber informasi dan dokumentasi perang.
Sejak 2011, informasi terkait perang Suriah sudah wara-wiri di media sosial. Bedanya, cara media sosial mengungkapnya sedikit berbeda dengan saat ini.
Saat itu, TikTok belum eksis, dan Instagram baru berusia satu tahun.
Namun saat ini, video TikTok yang ditandai dengan tagar #ukrainewar telah dilihat lebih dari 600 juta kali, dan hampir 180.000 postingan Instagram telah menggunakan tagar tersebut.
Artinya, aliran informasi itu sangat kuat: memaksa orang untuk memperhatikan dan melihat pengalaman orang-orang di Ukraina.
Lama kelamaan, hal ini dapat berpengaruh buruk bagi kesehatan mental orang yang melihatnya, meskipun mereka tak menyaksikannya secara langsung.
Ya, penelitian menyebutkan bahwa paparan berita terkait peristiwa traumatis dapat mempengaruhi kesehatan metal penontonnya.
“Semua orang ingin mendidik, orang ingin menginformasikan, orang ingin menjadi saksi,” kata Jason Steinhauer, penulis History, Disrupted: How Social Media and the World Wide Web Have Changed the Past.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.