Oleh: Jessica Chandhika, P Tommy YS Suyasa, dan Gabriela Carissa Averina *
USAHA di sektor digital di Indonesia semakin melejit. Penerapan digitalisasi dan revolusi industri 4.0 oleh beragam startup yang marak bermunculan akhir-akhir ini mendorong kemajuan ekonomi digital di Indonesia.
Diperkirakan tahun 2025, ekonomi digital Indonesia akan mencapai nilai 124 miliar dollar AS atau setara dengan 40 persen total nilai ekonomi digital Asia Tenggara (Nurhadi, 2021).
Baca juga: Erick Thohir: BUMN Dampingi 157 Startup, Dorong Jadi Ekosistem Besar
Perpaduan antara perbaikan infrastruktur, pertambahan jumlah penduduk kelas menengah dan generasi muda yang melek teknologi, perubahan pola konsumsi masyarakat, dan persebaran teknologi serta informasi digital yang semakin merata di tengah pandemi Covid-19 telah menciptakan iklim yang optimal bagi perkembangan sektor terpopuler startup, yaitu electronic commerce (e-commerce) di Indonesia (GlobalData, 2022).
Eric Ries, pencipta metodologi Lean Startup mendefinisikan startup sebagai institusi yang dirancang untuk menciptakan produk atau layanan baru di tengah kondisi yang penuh ketidakpastian (McGowan, 2022). Secara teknis, startup adalah perusahaan yang berada dalam tahap awal perkembangan.
Startup identik dengan beberapa ciri berikut: berfokus pada pertumbuhan, bertujuan untuk memecahkan suatu masalah, berkomitmen untuk mengubah status quo, berfungsi untuk memenuhi kesenjangan di pasar, dan bersifat adaptif serta inovatif (McGowan, 2022).
Definisi e-commerce merujuk pada segala bentuk kegiatan ekonomi yang dilakukan melalui media elektronik, seperti televisi, smartphone, ataupun internet (Wigand, 1997).
Sebagai pemimpin di Asia Tenggara, pasar e-commerce Indonesia tahun ini diperkirakan tumbuh hingga delapan kali lipat dibandingkan tahun 2018 dan penetrasi e-commerce pada para pengguna internet akan meningkat menjadi 83 persen (Das et al., 2018).
Berdasarkan laporan terbaru dari Momentum Works, sektor e-commerce Indonesia menyumbang 20 persen dari total penjualan ritel pada 2020, melebihi angka yang diraih di Amerika Serikat (AS), Prancis, Denmark, Norwegia, Swedia, dan Spanyol (Momentum Works, 2021).
Sebagai bangsa dengan usia penduduk rata-rata 31,1 tahun, Indonesia menyaksikan peningkatan jumlah penduduk angkatan kerja yang melek teknologi (JP Morgan, 2020). Dengan menyadari semakin pesatnya perkembangan teknologi dan informasi digital dan munculnya beragam startup di sektor e-commerce belakangan ini, tidak heran jika anak muda Indonesia yang sudah akrab dengan e-commerce tergiur untuk mengejar karier di industri tersebut.
Namun, perlu diingat bahwa bekerja di startup tidak selalu seindah yang dibayangkan. Agar tidak menyesal di kemudian hari, simak dulu beberapa hal di bawah ini sebelum memutuskan untuk terjun ke industri startup e-commerce.
Baca juga: Mahasiswa Lebih Pilih Bekerja di Startup, Ini Alasannya
Mayoritas startup di Indonesia belum mencapai level unicorn. Gambaran startup dalam benak masyarakat umum Indonesia identik dengan startup unicorn, seperti GoTo (Gojek and Tokopedia), Bukalapak, dan Traveloka. Nyatanya, sebagian besar startup lokal masih jauh dari level unicorn. Kebanyakan baru setingkat cockroach, ponies, dan centaurus. Sebagai perbandingan, valuasi (nilai ekonomi suatu perusahaan) unicorn mencapai 1 miliar dollar AS atau Rp 14,1 triliun.
Sedangkan angka valuasi cockroach hingga centaurus berada di bawah 100 juta USD atau Rp 1,40 triliun sehingga mereka harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan pendanaan dari investor (Rifka, 2021).
Untuk mencapai level unicorn ke atas, startup membutuhkan dedikasi dan pengorbanan yang besar dari para karyawannya. Sering kali yang terjadi di startup adalah pertumbuhan bisnis yang pesat tidak diimbangi dengan peningkatan jumlah sumber daya manusia sehingga beban kerja karyawan sangat besar dan mereka harus rela untuk bekerja setiap hari dengan jam kerja yang jauh melewati batas normal.
Jika berminat untuk bekerja di startup yang baru saja dirintis, maka perlu mempersiapkan diri untuk mengorbankan work-life balance.