Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Kepemimpinan Keluarga sebagai Sekolah Terbaik Pemimpin Ideal

Kompas.com - 30/08/2022, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TREVORS Cross, penulis yang telah menulis 80 buku anak mengatakan, “Good parents hardly parent. They let their kids learn, fail, and grow without interference.”

Kalimat ini cukup menohok karena Trevor mendefinisikan peran orangtua dengan sangat fleksibel. Selama ini, mungkin orangtua terlalu takut melihat anaknya terjatuh, sehingga mereka berusaha melindungi anaknya agar tidak merasakan kekecewaan.

Bagi sebagian orangtua, sikap itu merupakan bentuk kasih sayang, tetapi dampaknya tidak seindah yang orangtua pikirkan. Anak akan terlalu mengandalkan orangtua dalam segala penyelesaian masalah mereka.

Selain itu, untuk membuat anak mereka belajar dan berkembang, orangtua mengandalkan sekolah sebagai tempat utama. Memang sekolah menjadi tempat untuk bertemu orang-orang yang berbeda, pemikiran yang saling berbenturan, dan sifat-sifat yang berlawanan.

Baca juga: Kepemimpinan, Blusukan, dan Social Happiness

Sekolah punya kegiatan ekstrakulikuler dan tools yang dibutuhkan untuk memastikan murid-murid berkembang. Namun demikian, sekolah tidak bisa memainkan peran sebagai orangtua.

Sekolah punya banyak murid dengan kondisi yang berbeda. Hanya mengandalkan sekolah sebagai tempat tumbuh kembang anak mungkin merupakan kesalahan. Karena itu, ada peran-peran yang hanya bisa dijalankan oleh orangtua dan memang sebenarnya itulah peran orangtua: menjadi pemimpin, sumber kekuatan, inspirasi dan pendidik pertama dan utama bagi anak.

Kepemimpinan keluarga: Konsep penting yang orangtua harus tahu

Tidak hanya di organisasi, di keluarga pun juga membutuhkan kepemimpinan. Keluarga merupakan institusi paling kecil. Hierarkinya pun juga jelas: ada orangtua sebagai pemimpin, kemudian ada anak-anak.

Untuk menjadikan keluarga sebagai tempat yang baik untuk anak agar bisa menumbuhkan sikap kepemimpinannya, tentu perlu pemimpin yang kuat. Berbicara kepemimpinan keluarga, sebenarnya bisa dijelaskan dengan kalimat sederhana: orangtua adalah pemimpin dalam keluarga. Baik itu ayah atau ibu, mereka berdua adalah pemimpin.

Baca juga: Ini Peran Orangtua dalam Menangani Permasalahan Anak Usia Dini

Ayah mungkin menjadi pemimpin keluarga, tetapi menurut Rahmat et.al (2019), dalam struktur kepemimpinan keluarga, posisi ayah dan ibu sejajar, sehingga kepemimpinan ayah bersifat fungsional bukan struktural. Kesejajaran posisi ayah dan ibu karena masing-masing punya peran yang harus dimainkan dan semuanya penting.

Terlebih, di era sekarang, peran ayah dan ibu bisa sebagai pencari nafkah dan mengurus rumah secara bersamaan, sehingga mereka berdua adalah sosok pemimpin di lingkungan keluarga.

Dalam sisi praktisnya, kepemimpinan keluarga yang dapat menumbuhkan sikap kepemimpinan di dalam anak adalah kepemimpinan transformasional. Menurut Galbraith & Schvaneveldt (2005), kepemimpinan transformasional akan menciptakan makna dan nilai bersama.

Orangtua akan bekerja sama dengan anaknya untuk mencari solusi yang efektif dan kreatif dalam permasalahan. Selain itu, orangtua juga akan mendorong anaknya untuk berkontribusi secara positif bagi keluarga.

Secara sederhana, kepemimpinan keluarga adalah bagaimana orangtua memberi contoh baik kepada anaknya. Sama halnya pemimpin di dalam organisasi dan bisnis, orangtua mendorong anaknya untuk tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik, sehingga bisa menjadi pemimpin untuk dirinya sendiri dan masyarakat sekitar.

Apakah keluarga menjadi tempat yang baik atau tidak untuk anak, ada dua faktor penting yang dapat memengaruhi tumbuh kembang anak. Dua faktor itu adalah lingkungan yang tepat dan bagaimana orangtua memberikan afeksi yang cukup kepada anaknya.

Ilustrasi orangtua toxic.freepik Ilustrasi orangtua toxic.
Menciptakan lingkungan yang ideal

Sebagai orangtua, kehadiran anak ke dunia merupakan sumber kebahagiaan. Muncul perasaan bahwa kita harus melakukan apapun untuk tumbuh kembang anak. Orangtua akan mengerahkan seluruh tenaga mereka agar kebutuhan anak tersedia.

Orangtua mulai merencanakan masa depan anak-anaknya, menyekolahkannya, dan mengarahkannya setiap langkah mereka demi masa depan yang cerah. Secara genetik, kita mewarisi beberapa sifat dari orangtua kita. Baik atau buruk, sifat tersebut melekat di dalam diri anak: layaknya buah apel yang jatuh tidak jauh dari pohonnya.

Baca juga: 4 Peran Orangtua Menangani Masalah pada Anak Usia Dini

Sebagai orangtua, kita perlu mendidik dan memandu anak-anak untuk mengembangkan bakatnya. Mengarahkannya sesuai dengan potensi anak-anak. Mengingat besarnya peran mereka, orangtua perlu menjaga kesehatannya, baik fisik dan mental.

Orangtua merupakan guru paling pertama bagi anak-anaknya. Anak memandang orangtua sebagai role model utama bagi perkembangannya. Segala sikap dan perbuatannya diamati dan ditiru oleh anaknya.

Anak yang berada di lingkungan yang positif akan berkembang dengan baik. Sebagai contoh, Masni (2016) mengemukakan bahwa anak yang hidup di keluarga yang demokratis akan tumbuh menjadi pribadi yang mau menerima kritik, menghargai orang lain, lebih percaya diri, dan bertanggung jawan terhadap kehidupan sosialnya.

Saputro & Palan (2017) menegaskan bahwa lingkungan sosial sangat berpengaruh bagi anak karena menjadi tempat interaksi antara anak dan orangtua. Lingkungan yang baik dapat memberikan kebebasan bagi anak untuk mengembangkan dirinya.

Sebaliknya, apabila keluarganya otoriter, anak menjadi takut untuk mengemukakan pendapatnya dan selalu muncul perasaan takut salah.

Ada banyak contoh kecil yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkan sikap positif ke anak. Misalnya seperti mendorong mereka mengemukakan pendapat dan mengutarakan apa yang anak mau.

Ataupun contoh lain misalnya memberikan kepercayaan pada anak untuk menjaga mainan mereka dan tidak langsung menyalahkan jika mainannya rusak juga akan membantu perkembangan anak. Hal-hal yang tersebut akan memicu kepercayaan diri anak.

Jadi, sebisa mungkin dan dalam kondisi apapun, orangtua harus mampu memberikan iklim yang positif. Supaya mereka bisa berkembang optimal.

Dampak afeksi dan ketiadaan afeksi

Lingkungan memang punya peran penting, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana sikap orangtua terhadap anaknya dan kondisi keluarga. Dua hal ini menurut saya berpengaruh sangat besar terhadap tumbuh kembang anak menjadi seorang pemimpin.

Misalnya, orangtua menghadapi situasi ekonomi yang sulit ataupun bertengkar di hadapan anaknya akan memengaruhi psikologis anak. Dikutip dari situs Halodoc, pertengkaran yang terjadi antara orangtua membuat anaknya menjadi tidak percaya diri, hubungan anak dan orangtua memburuk, dan membuat anak stres dan cemas.

Di Inggris misalnya, 1 dari 18 anak yang hidup dengan kedua orangtuanya mengalami tekanan emosional. Situasi ini tentu memengaruhi anak, terutama secara psikologis. Selain itu, ada hubungan antara kesehatan mental orangtua dengan perkembangan anak.

Mensah & Kiernan (2010) menemukan bahwa anak akan meraih pencapaian yang lebih rendah dalam banyak aspek, mulai dari literasi dan bahasa, serta matematika. Perkembangan pribadi (sosial dan emosional juga rendah).

Di Indonesia sendiri, terutama di masa pandemi, para Ibu menjadi stres dan mudah marah. Survei dari aplikasi Teman Bumil di tahun 2020, yang berhasil menjaring 1.192 responden, menemukan bahwa 56 persen ibu mengalami stres, cemas, sulit tidur, dan mudah marah.

Empat kondisi psikologis tersebut tentu akan memengaruhi hubungan ibu dan anak. Di samping kondisi kesehatan mental, orangtua banyak yang tidak sadar jika sikap mereka berpengaruh terhadap anak.

Menurut psikolog anak Rosliana Verauli, dikutip dari Detik.com, anak sangat terpengaruh dengan situasi orangtuanya. Apabila orangtua stres dan bersitegang, anak juga akan mengikuti.

Kondisi orangtua yang seperti itu tentu membuat mereka tidak bisa menyalurkan cinta yang dibutuhkan oleh seorang anak. Anak justru akan kurang afeksi, yang membuat anak berkembang ke arah negatif. Anak jadi berkutat ke masalah-masalah psikologis seperti depresi dan kecemasan, sehingga anak tidak bisa berfokus pada masa depannya.

Ada banyak penelitian jangka panjang yang telah menunjukkan bahwa afeksi memegang peran penting bagi tumbuh kembang anak. Setidaknya penulis bisa memberikan tiga penelitian.

Penelitan pertama dilakukan di tahun 2010 oleh Sekolah Medis Universitas Duke. Studi ini ternyata dilakukan selama 30 tahun, dengan mengamati perkembangan dari 500 bayi hingga mencapai umur 30-an.

Peneliti dari Universitas Duke meneliti bagaimana orangtua berinteraksi dengan anaknya: 84 persen dengan tingkat afeksi normal, 6 persen tingkat afeksi tinggi, dan 10 persen dengan tingkat afeksi rendah.

Peneliti Universitas Duke kemudian menemui mereka kembali di tahun 2010. Peneliti berkesimpulan bahwa anak yang diberikan afeksi tinggi (6 persen) berkembang lebih baik daripada yang lain. Anak menjadi tidak stres dan depresi, tidak menunjukkan adanya permusuhan atau interaksi sosial yang kurang menyenangkan.

UCLA juga melakukan riset serupa di tahun 2013 dan menemukan hasil yang kurang lebih sama dengan Universitas Duke. Anak yang merasakan unconditional love akan berkembang jadi pribadi yang lebih bahagia, yang berdampak pada cara kerja otak.

Dua tahun setelah UCLA, Universitas Notre Dame di tahun 2015 menemukan hal serupa dengan dua penelitian sebelumnya. Peneliti Universitas Notre Dame menyimpulkan bahwa anak tumbuh menjadi pribadi yang penyayang.

Penelitian-penelitian di atas membuat kita sadar bahwa memberikan kasih sayang yang tinggi membuat anak berkembang ke arah yang sangat baik. Oleh karena itu, orangtua perlu lebih sensitif jika menyangkut emosi, sikap, dan bagaimana pengaruhnya.

Anak pasti melihat orangtuanya, baik atau buruk. Sikap orangtua akan dijadikan contoh oleh anak.

Ilustrasi.PIXABAY/ GRAPHIC MAMA TEAM Ilustrasi.
Menjadi pemimpin untuk menciptakan pemimpin

Untuk memastikan anak berkembang menjadi pribadi yang penyayang, berani, dan berempati, serta memiliki sifat kepemimpinan yang kuat, orangtua perlu menjadi seorang pemimpin.

Keluarga adalah institusi pertama yang langsung dirasakan oleh anak. Anak belajar bahwa ada semacam hierarki yang harus ditaati. Anak harus belajar bagaimana menjadi anak yang baik, yang mematuhi tata krama yang ada, dan menjadi seseorang yang peka terhadap lingkungannya.

Namun, seberapa ketat hierarkinya tergantung orangtua. Orangtua mau membentuk hierarki yang seperti apa: otoriter atau demokratis; ketat atau luwes. Hierarki yang terbentuk akan memengaruhi seperti apa anak kita di masa depan nanti.

Kita sudah lihat bahwa lingkungan yang otoriter berdampak negatif pada perkembangan anak. Anak tidak bisa berekspresi dengan bebas dan sering mengalami kecemasan. Tentu kita tidak ingin anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi yang depresi dan cemas.

Jika anak kita menjadi seperti itu, bisa dikatakan kita gagal menjadi orangtua. Namun, jika orangtua menciptakan lingkungan yang demokratis, orangtua bisa menciptakan seorang pemimpin.

Dalam lingkungan keluarga yang demokratis, anak diajarkan bagaimana menyampaikan pendapatnya dengan baik. Lalu, anak dituntun untuk memutuskan sendiri apa yang dia ingin lakukan dan tidak melakukan judgement atas keputusan yang sudah dibuat anak.

Kemudian, anak diajarkan untuk belajar lebih banyak mendengar. Penerapan lingkungan tersebut membuat anak bisa tumbuh menjadi seorang pemimpin.

Morton et.al (2012) meneliti efek dari lingkungan kepemimpinan keluarga yang transformasional terhadap asupan makanan sehat dan aktivitas fisik. Hasilnya menunjukkan bahwa remaja yang menganggap keluarga mereka menerapkan pola asuh transformasional menunjukkan perilaku makan sehat dan aktivitas fisik yang lebih besar daripada mereka yang menganggap keluarganya menunjukkan tingkat perilaku pola asuh transformasional terendah.

Kemendikbud dalam bukun Menjadi Orang Tua Hebat untuk Keluarga dengan Anak Usia Dini (2017) menyebutkan banyak hal tentang peran orangtua. Pada intinya, orangtua harus mengajarkan kebiasaan yang baik seperti membaca buku, membersihkan diri, membiasakan sarapan, dan beribadah dengan tekun.

Selain itu, sikap yang perlu orangtua punya adalah menjadi pendengar yang baik, karena itu bisa meningkatkan hubungan antara orangtua dan anak. Hal-hal itu memang sederhana, tetapi bisa membantu kita menumbuhkan sikap pemimpin di dalam diri anak.

Perlu diingat, peran penting orangtua adalah menciptakan lingkungan yang positif, suportif dan memberikan afeksi yang tinggi kepada anak-anak. Supaya anak-anak bisa berkembang menjadi seorang pemimpin yang berkontribusi untuk bangsa dan negara.

Gen z harus diselamatkan dan itu dimulai dari peran Anda sebagai pemimpin terbaik didalam keluarga. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com