SALAH satu ucapan Blaise Pascal yang sangat populer berbunyi, "Semua penderitaan manusia berasal dari ketidakmampuannya untuk duduk sendiri dalam keheningan“.
Apa yang dikatakan Pascal itu cukup relevan dengan fenomena yang terjadi di era digital sekarang ini. Kecenderungan untuk selalu terkoneksi dengan gawai merupakan salah satu bentuk mobilitas baru di waktu luang.
Yang selama ini banyak menjadi sorotan adalah persoalan tergerusnya relasi sosial akibat ketergantungan terhadap gawai. Ada hal lain yang tidak kalah penting tetapi jarang disorot, yaitu hilangnya saat-saat keheningan.
Waktu luang dapat menjadi sumber kebisingan baru. Dengan gawainya, manusia menyendiri. Akan tetapi, kesendirian ini bukanlah sebuah keheningan. Barangkali, istilah yang tepat untuk menggambarkan situasi kekinian adalah "darurat keheningan“.
Baca juga: Pakar UGM Beri 5 Tips Mengasuh Anak Pahami Dunia Digital
Tingkat ketergantungan manusia terhadap gawai semakin tinggi. Hal ini tidak bisa kita tolak. Kewaspadaan terhadap teknologi digital tetap harus dinyalakan. Pertanyaan normatif yang dapat diajukan adalah "Apakah manusia masih memiliki quality time di waktu luang?“
Pertanyaan ini akan lebih tajam lagi jika dirumuskan, “Apakah manusia masih memiliki ruang kontemplatif di dalam sebuah keheningan?”
Frankl (1946) mengatakan bahwa makna adalah kebutuhan dasar manusia. Bagaimana kebutuhan dasar ini dapat terpenuhi jika manusia tidak dapat masuk ke dalam ruang keheningan?
Orang Yunani mengenal istilah schole untuk menggambarkan aktivitas yang dikontraskan dengan ponos (baca: kerja). Istilah schole ini diterjemahkan dengan istilah otium di dalam Bahasa Latin.
Padanan kata schole dalam Bahasa Inggris adalah leisure. Dalam bahasa Indonesia, padanan dari schole adalah waktu luang. Istilah waktu luang tidak dapat sepenuhnya mentransportasikan nuansa semantik dari schole.
Mengapa demikian? Istilah waktu luang identik dengan aktivitas sekedar mencari hiburan, sedangkan schole adalah aktivitas di waktu luang untuk mencari sebuah kedalaman.
Konsep schole adalah kontras dari ponos. Pemikiran Yunani memandang ponos sebelah mata dan lebih memprioritaskan schole. Ponos dianggap sebagai sebuah keharusan, sedangkan schole adalah sebuah kebebasan.
Dalam aktivitas ponos, seseorang masih disibukkan dengan urusan mencari nafkah.
Kebebasan yang melekat pada schole tidak lain adalah kemampuan manusia untuk menggeluti hal-hal yang lebih hakiki. Orang yang diam berkontemplasi dan berpikir dianggap lebih terhormat daripada orang yang bergerak untuk bekerja.
Baca juga: Hari Keluarga Nasional, Ini 5 Cara Nikmati Quality Time di Rumah
Unsur mobilitas (baca: pergerakan) melekat pada ponos. Meskipun dikontraskan dari ponos, schole tidak berarti sebuah kemalasan. Schole tetaplah sebuah aktivitas yang dilekati dengan kebebasan dan bersifat kontra mobilitas, baik secara relatif maupun absolut.
Di dalam filsafat Aristoteles, mobilitas menandakan sebuah defisit. Mobilitas adalah pertanda sebuah ketidaksempurnaan, sedangkan ketidakbergerakan dianggap sebagai sifat yang melekat pada kesempurnaan.