Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Martinus Ariya Seta
Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Hobi membaca dan jalan-jalan. Saat ini sedang menempuh studi doktoral dalam bidang Pendidikan Agama di Julius Maximilians Universität Würzburg

Darurat Keheningan

Kompas.com - 03/09/2022, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SALAH satu ucapan Blaise Pascal yang sangat populer berbunyi, "Semua penderitaan manusia berasal dari ketidakmampuannya untuk duduk sendiri dalam keheningan“.

Apa yang dikatakan Pascal itu cukup relevan dengan fenomena yang terjadi di era digital sekarang ini. Kecenderungan untuk selalu terkoneksi dengan gawai merupakan salah satu bentuk mobilitas baru di waktu luang.

Yang selama ini banyak menjadi sorotan adalah persoalan tergerusnya relasi sosial akibat ketergantungan terhadap gawai. Ada hal lain yang tidak kalah penting tetapi jarang disorot, yaitu hilangnya saat-saat keheningan.

Waktu luang dapat menjadi sumber kebisingan baru. Dengan gawainya, manusia menyendiri. Akan tetapi, kesendirian ini bukanlah sebuah keheningan. Barangkali, istilah yang tepat untuk menggambarkan situasi kekinian adalah "darurat keheningan“.

Baca juga: Pakar UGM Beri 5 Tips Mengasuh Anak Pahami Dunia Digital

Tingkat ketergantungan manusia terhadap gawai semakin tinggi. Hal ini tidak bisa kita tolak. Kewaspadaan terhadap teknologi digital tetap harus dinyalakan. Pertanyaan normatif yang dapat diajukan adalah "Apakah manusia masih memiliki quality time di waktu luang?“

Pertanyaan ini akan lebih tajam lagi jika dirumuskan, “Apakah manusia masih memiliki ruang kontemplatif di dalam sebuah keheningan?”

Frankl (1946) mengatakan bahwa makna adalah kebutuhan dasar manusia. Bagaimana kebutuhan dasar ini dapat terpenuhi jika manusia tidak dapat masuk ke dalam ruang keheningan?

Schole dan ponos

Orang Yunani mengenal istilah schole untuk menggambarkan aktivitas yang dikontraskan dengan ponos (baca: kerja). Istilah schole ini diterjemahkan dengan istilah otium di dalam Bahasa Latin.

Padanan kata schole dalam Bahasa Inggris adalah leisure. Dalam bahasa Indonesia, padanan dari schole adalah waktu luang. Istilah waktu luang tidak dapat sepenuhnya mentransportasikan nuansa semantik dari schole.

Mengapa demikian? Istilah waktu luang identik dengan aktivitas sekedar mencari hiburan, sedangkan schole adalah aktivitas di waktu luang untuk mencari sebuah kedalaman.

Konsep schole adalah kontras dari ponos. Pemikiran Yunani memandang ponos sebelah mata dan lebih memprioritaskan schole. Ponos dianggap sebagai sebuah keharusan, sedangkan schole adalah sebuah kebebasan.

Dalam aktivitas ponos, seseorang masih disibukkan dengan urusan mencari nafkah.

Kebebasan yang melekat pada schole tidak lain adalah kemampuan manusia untuk menggeluti hal-hal yang lebih hakiki. Orang yang diam berkontemplasi dan berpikir dianggap lebih terhormat daripada orang yang bergerak untuk bekerja.

Baca juga: Hari Keluarga Nasional, Ini 5 Cara Nikmati Quality Time di Rumah

Unsur mobilitas (baca: pergerakan) melekat pada ponos. Meskipun dikontraskan dari ponos, schole tidak berarti sebuah kemalasan. Schole tetaplah sebuah aktivitas yang dilekati dengan kebebasan dan bersifat kontra mobilitas, baik secara relatif maupun absolut.

Di dalam filsafat Aristoteles, mobilitas menandakan sebuah defisit. Mobilitas adalah pertanda sebuah ketidaksempurnaan, sedangkan ketidakbergerakan dianggap sebagai sifat yang melekat pada kesempurnaan.

Oleh karena itu, profesi seorang filsuf memiliki kedudukan yang terhormat karena menggeluti schole, dibandingkan dengan para pekerja atau budak yang menggeluti ponos.

Konsep schole berkaitan erat dengan pemahaman antropologis manusia sebagi bios teoretikos (baca: mahkluk yang berfilsafat atau berkontemplasi). Aristoteles menekankan bahwa schole inilah yang menjadi jalan yang akan menuntun kepada kebahagiaan.

Berfilsafat tidak dipahami sebagai pekerjaan akademis untuk kalangan tertentu saja. Ini adalah aktivitas mendasar manusia untuk mencari makna.

Plato mengatakan bahwa hidup yang sebenarnya adalah hidup yang didalami untuk dimaknai (Hunnicutt, 2006).

Superioritas scholae atas ponos tidak harus dipahami dalam logika biner antara yang baik dan yang buruk. Ini memang bukan penafsiran dogmatis. Urusan mencari nafkah memang menjadi bagian dari tanggung jawab manusia. Akan tetapi, aktivitas dan tujuan hidup manusia tidak dapat semata-mata direduksi hanya sekedar untuk mencari nafkah.

Schole tidak dimaksudkan untuk menolak atau mengutuki ponos, tetapi manusia diajak untuk beranjak pada pemikiran yang jauh lebih hakiki.

Era modern ditandai dengan sebuah pergeseran. Ponos menggeser kedudukan schole. Kapitalisme dan marxisme memiliki peran penting dalam pergeseran tersebut meskipun kedua ideologi tersebut saling bertentangan.

Kerja yang ditandai dengan mobilitas dan produktivitas menjadi kata kunci, baik di dalam kapitalisme dan marxisme. Marx menganggap kerja sebagai hakekat dari kemanusiaan. Dengan kata lain, kerjalah yang menciptakan manusia.

Sementara, kapitalisme memiliki pandangan yang sangat banal tentang kerja karena semua diukur secara kuantitatif berdasarkan kemanfaatannya semata bagi perkembangan ekonomi.

Di era digital sekarang ini, schole menjadi semakin sukar untuk dihidupi. Gawai telah merevolusi tidak hanya cara orang bekerja, tetapi juga cara orang mengisi waktu luang. Gawai berpotensi menciptakan sebuah kebisingan baru.

Apakah orang benar-benar memiliki quality time di dalam kesendirian? Waktu luang yang seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai sebuah schole, justru menciptakan sebuah kebisingan baru.

Bahaya dari intensitas penggunaan gawai sudah disaradari oleh banyak pihak. Konsep digital detox diperkenalkan sebagai reaksi atas bahaya dari ketergantungan terhadap gawai.

Di dalam kamus Oxford online, digital detox diartikan sebagai “A period of time during which a person refrains from using electronic devices such as smartphones or computers, regarded as an opportunity to reduce stress or focus on social interaction in the physical world.”

Dengan kata lain, digital detox adalah mengurangi intensitas penggunaan gawai untuk mengurangi stress dan merawat relasi sosial di dunia nyata. Hal semacam ini lazim dilakukan di Silicon Valley Amerika Serikat.

Baca juga: Digital Detox alias Puasa Medsos, Bagaimana Caranya?

Orang tua mengatur dengan sangat ketat durasi penggunaan gawai anak-anaknya. Para tokoh pengembang teknologi digital seperti Steve Job, Bill Gates, Mark Cuban, dan Alexis Ohanian menerapkan konsep digital detox untuk mendidik anak-anak mereka.

Latar belakang dari digital detox adalah sebuah kecurigaan terhadap dunia digital yang dianggap tidak mampu menyediakan sebuah relasi dan wajah manusia yang otentik (Syvertsen & Enli, 2020).

Kebisingan akibat gawai di waktu luang tidak boleh diremehken. Hilangnya relasi sosial menjadi salah satu kekuatiran yang selama ini sering diungkit-ungkit dari persoalan ketergantungan terhadap gawai.

Hal yang tidak kalah penting, tetapi jarang diungkit-ungkit, adalah tergusurnya schole di waktu luang. Persoalannya bukan sekedar hilangnya relasi personal, tetapi pembentukan wajah manusia yang otentik.

Hanya dengan pemenuhan kebutuhan dasar akan makna, maka wajah manusia yang otentik akan tercapai.

Ketidakmampuan untuk mengisi waktu luang dengan aktivitas kontemplatif akan menghalangi pemenuhan kebutuhan dasar manusia akan makna.

Penutup

Kemanusiaan tidak mungkin dirawat di tengah kebisingan, baik di dunia nyata maupun maya. Mobilitas cenderung didikte oleh cara berpikir yang pragmatis.

Keheningan memberikan ruang bagi manusia untuk bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan reflektif yang menawarkan cara berpikir dan bertindak yang lebih memberi makna.

Dari sinilah manusia dapat memenuhi kebutuhan dasarnya akan makna. Inilah sebenarnya yang menjadi relevansi dari pepatah Blaise Pascal di era digital ini.

Terlalu naif jika manusia menginginkan sebuah kehidupan tanpa ada persoalan. Bukan banyak sedikitnya persoalan atau besar kecilnya persoalan yang menentukan kemanusiaan manusia. Yang jauh lebih penting adalah pemenuhan kebutuhan dasar akan makna.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com