KOMPAS.com - Tes kebohongan atau uji poligraf belakangan sering disebut dalam pemberitaan terkait kasus Ferdi Sambo.
Pengujian kejujuran seseorang ini memang kerap dipakai untuk mengungkap kasus kejahatan, di dunia nyata maupun kisah fiksi.
Beberapa pihak menganggapnya ampuh untuk mememastikan pernyataan seseorang, dengan metode tertentu.
Namun ada juga yang menilai tidak ada alat atau metode apa pun yang bisa mengetahui kebenaran ucapan seseorang, selain orang itu sendiri.
Baca juga: Update Kasus Brigadir J: Hasil Tes Kebohongan, Keterlibatan 3 Kapolda, dan Video Viral ART Sambo
"Gagasan bahwa kita dapat mendeteksi kebenaran seseorang dengan memantau perubahan psikofisiologis lebih merupakan mitos daripada kenyataan," ujar psikolog Leonard Saxe, PhD,, dikutip dari American Psychological Association.
Tes poligraf adalah metode yang dilakukan dengan merekam sejumlah respons tubuh yang berbeda yang kemudian dapat digunakan untuk menentukan apakah seseorang berkata jujur.
Indikator yang diperhatikan biasanya tekanan darah, perubahan pernapasan seseorang, dan keringat di telapak tangan.
"Poligraf, seperti teknik pendeteksi kebohongan lainnya, mengukur efek tidak langsung dari kebohongan," kata Dr Sophie van der Zee, pakar psikologi forensik, dikutip dari BBC.
"Tidak ada manusia yang memiliki hidung Pinocchio," ujarnya, merujuk pada dongeng anak-anak tersebut.
Baca juga: 8 Ciri-ciri Orang Berbohong Menurut Pakar Kejujuran
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.