Oleh: Alifia Putri Yudanti dan Ikko Anata
KOMPAS.com - Sebagai manusia, kita dianugerahi oleh Tuhan berbagai macam emosi yang digunakan untuk menunjukkan suasana hati. Ada emosi senang, sedih, kecewa, hingga marah. Sayangnya, jika emosi ini ditunjukkan secara berlebihan, bisa berbahaya untuk kita.
Misalnya, mengeluarkan amarah yang meledak-ledak saat kecewa atau terlalu bahagia hingga lupa dengan keadaan sekitar. Mengeluarkan emosi tersebut secara berlebihan tentu akan memengaruhi kehidupan pribadi dan sosial kita.
Salah satunya dialami oleh tokoh Chacha dalam audio drama siniar Anyaman Jiwa “Kisah Anya & Adjie” bertajuk “Ketika Masih Sulit Mengontrol Emosi yang Meledak” dengan tautan akses dik.si/AJKontrolEmosi.
Meski begitu, emosi juga bisa kontrol. Pasalnya, pengendalian ini bisa menghindari tindakan impulsif yang dapat mengganggu kehidupan kita. Lantas, bagaimana caranya untuk mengatur emosi agar tak berlebihan?
Mengutip Soul Salt, salah satu aspek terpenting dari kecerdasan emosional adalah mampu mengidentifikasi emosi yang kita rasakan. Jadi, alih-alih mengatakan “saya marah”, cobalah untuk menguraikan lagi penyebab emosi itu muncul. Misalnya, “Saya marah dan kecewa karena telah dibohongi.”
Baca juga: 4 Langkah agar Kita Bisa Memaafkan
Memahami dengan tepat apa yang dirasakan mampu membantu kita berkomunikasi lebih baik dengan orang lain dan diri sendiri. Jika sudah mengidentifikasi emosi, kita juga jadi lebih mudah untuk mencari solusi atau cara yang tepat untuk menanganinya.
Ketidakpastian memang menjadi musuh bagi perasaan dan logika kita. Terlebih, jika hal ini berlangsung lama. Pastinya, perasaan kita menjadi tak karuan hingga emosi pun jadi berantakan. Alih-alih mengontrol emosi, kita justru panik berlebihan.
Dalam kehidupan, kita pasti akan selalu dihadapkan dengan ketidakpastian. Namun, orang dengan regulasi emosi yang buruk tak mampu mengaturnya. Sebagai tindakan preventif, kita bisa menuliskan skenario atau prediksi terhadap hal-hal buruk.
Setelah menuliskannya, pikirkan langkah preventif dan cara mengatur emosi jika hal itu terjadi. Dengan menuliskan skenario terburuk, kita jadi lebih siap dalam menghadapi berbagai hal yang dapat memperparah emosi negatif kita.
Mengutip Psych Central, terapi perilaku dialektis (DBT) adalah jenis terapi yang membantu kita dalam mengelola emosi yang sulit. Salah satu konsepnya adalah mengambil tindakan berlawanan. Artinya, kita mempraktikkan perilaku berlawanan yang mirip dengan emosi yang dirasakan.
Baca juga: Mempersiapkan Anak Hadapi Perceraian Orangtua
Misalnya, saat diminta melakukan presentasi oleh atasan, kita mungkin merasa panik. Bisa saja muncul keraguan dan kekhawatiran kalau kita tak bisa tampil dengan maksimal. Alih-alih berpikir seperti itu, kita bisa mulai mengambil langkah positif.
Yakinkan pada diri sendiri bahwa kita bisa melakukannya dan siap menghadapi tantangan tersebut. Namun, jangan langsung mengendalikan perasaan secara mendadak. Kita juga perlu memberikan jeda waktu sampai diri merasa tenang dan sudah menerima perasaan negatif itu.
Saat sedang dalam suasana hati yang buruk, kita cenderung tak ingin melakukan apa-apa. Alhasil, kita jadi mengisolasi diri sendiri atau mengeluh kepada orang-orang di sekitar. Tindakan ini tentunya sangat kekanak-kanakan dan mampu membawa suasana negatif terhadap orang sekitar.
Ada baiknya, saat emosi berlebih itu muncul, carilah kegiatan yang membuat kita merasa lebih baik. Pasalnya, jika terus mengisolasi diri, kita justru jadi semakin terjebak dengan emosi berlebih itu. Kita bisa jalan-jalan, meditasi, mendengarkan musik, menonton film baru, hingga berbincang dengan teman.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.