Banyak kasus saya temui dari keterhambatan seseorang karena kegagalan menerima keberhargaan diri. Penghambat tidak ada di luar, tapi cara memandang diri sendiri.
Ada berapa banyak ramalan buruk tentang diri yang dipercayai? Ada berapa banyak kegagalan masa lalu yang masih membebani, atau kekeliruan diri yang tidak pernah dimaafkan, padahal konsekuensi telah dijalani?
Tuhan—Sang Pencipta manusia selalu mencintai manusia tanpa syarat. Rendah hatilah menerima cinta-Nya, pengampunan-Nya sehingga ada damai untuk menerima diri sendiri yang tidak sempurna.
Beberapa opsi penyesuaian yang dapat dilakukan antara lain:
“Manusia tidak sempurna, kadang berbuat keliru dan saya mengakuinya, menerima konsekuensinya, dan saya punya kesempatan memperbaikinya.”
“Meskipun saya pernah melakukan yang kurang baik di masa lalu, tapi selalu ada pintu pertobatan, dan saya izinkan proses pembentukan diri menjadi lebih baik.”
“Tuhan Maha Kasih, dia menerima diri saya apa adanya.”
“Aku menerima diriku yang tidak sempurna, dalam ketidaksempurnaan ini akan ada ketekunan dan kebaikan.”
3. “I Will Not Live in Fear”
Ada yang membuat kepanjangan FEAR adalah False Evidence Apprearing Real. Ketakutan itu semu, karena ketakutan itu bukan bukti yang sesungguhnya, bukan realita nyata. Sekali lagi, berarti fear atau ketakutan itu bercokolnya di pikiran.
Manusia tidak boleh takut? Sesat ini.
Takut itu emosi, boleh, bahkan takut merupakan mekanisme perlindungan diri. Saat hiking melihat ular kobra di antara rerumputan akan memunculkan rasa takut. Pikiran ini sehat.
Takut ini sebuah emosi yang mampu memicu otak untuk mencari cara serta menghadirkan rasa waspada terhadap bahaya.
Yang tidak sehat adalah hidup dalam ketakutan, dikuasai ketakutan. Dikuasai berarti kendalinya sudah terlepas dari diri kita. Dikuasai ketakutan merebut fakta dan logika.
Dokter Caroline Leaf mengatakan 75 persen-90 persen penyebab penyakit adalah rasa takut, stres berlebihan.