Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Urgensi Praktik Kepemimpinan Berbasis Data

Kompas.com - 28/03/2023, 08:57 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Keempat, adanya akuntabilitas yang lebih besar. Melalui penetapan tujuan yang jelas dan melacak kemajuan menggunakan data, para pemimpin dapat membuat diri mereka sendiri dan tim mereka bertanggung jawab atas hasil.

Terakhir, hadirnya potensi kolaborasi yang lebih baik. Dengan berbagi data dan wawasan ke seluruh tim dan departemen, para pemimpin dapat menumbuhkan budaya kolaborasi dan pengambilan keputusan berdasarkan data, yang menghasilkan hasil yang lebih baik dan keterlibatan karyawan yang lebih tinggi.

Kurangnya Kapabilitas Literasi Data

Karena itu, kita perlu meningkatkan literasi data. Gartner pernah membuat dua riset menarik tentang data. Riset pertama keluar tahun 2021. Bunyinya adalah di tahun 2025 sebanyak 70 persen organisasi akan mengalihkan fokus mereka dari big data ke small data.

Pergeseran itu bertujuan agar organisasi mampu mengontekstualisasikan data yang dimiliki serta mengurangi tingkat kehausan data kecerdasan buatan.

Riset kedua muncul tahun 2022, saat literasi data akan menjadi faktor penting dalam mendorong nilai bisnis, yang mana lebih dari 80 persen strategi data dan analitik serta program manajemen perubahan menyertakan kemampuan literasi data.

Namun sayangnya, literasi data merupakan kemampuan yang belum dimiliki banyak orang, bahkan di negara maju sekalipun. Menurut kondisi literasi data global Accenture tahun 2020, bukan Amerika Serikat (AS) yang tenaga kerjanya memiliki kemampuan literasi data tertinggi, melainkan India (46 persen).

Hanya 28 persen tenaga kerja AS terliterasi data. Bahkan, Jepang yang merupakan negara dengan teknologi maju hanya 9 persen tenaga kerjanya yang terliterasi data. Hal ini menunjukkan kemampuan literasi data masih belum menjadi prioritas.

Menurut Profesor MIT Catherine D'Ignazio dan ilmuwan riset Rahul Bhargava, kemampuan literasi data terdiri dari empat komponen yaitu membaca data, bekerja dengan data, analisa data, dan berargumen dengan data.

Sayangnya, kemampuan tertinggi yang saat ini dimiliki hanyalah membaca data. Menurut riset Accenture 2020, kemampuan membaca memiliki persentase paling tinggi, yakni 75 persen, membaca dan menginterpretasikan data (65 persen), mengomunikasikan data secara internal (63 persen), dan membuat keputusan berbasis data (63 persen), serta mengomunikasikan data secara eksternal (46 persen).

Hasil riset Accenture menunjukkan, kita punya kemampuan membaca data yang baik. Tetapi di sisi lain, hal itu berarti bahwa kita masih terjebak dalam lapisan luar literasi data. Semakin dalam lapisannya, persentase penguasaannya semakin sedikit, yang mengindikasikan literasi data para anggota belum sampai pada tingkat analisa dan pengambilan keputusan.

Keadaan tersebut memengaruhi tingkat kepercayaan diri organisasi dalam mengelola dan menganggap datanya sebagai aset.

Riset NewVantage tahun 2021 menemukan, hanya 39,3 persen eksekutif yang percaya organisasinya mampu mengelola data sebagai aset. Bahkan, hanya 24 persen eksekutif yang menganggap perusahaannya digerakkan oleh data (data-driven culture).

VentureBeat bahkan lebih sedikit lagi. Dalam survei mereka yang dilakukan tahun 2021, hanya 13 persen eksekutif yang percaya bahwa organisasi mereka menjalankan strategi data mereka.

Apa yang bisa kita pelajari dari riset-riset ini? Pertama, ada ruang yang besar bagi pemimpin untuk menciptakan budaya berbasis data dengan meningkatkan tingkat literasi data seluruh anggotanya.

Kedua, literasi data masih belum menjadi prioritas karena data dianggap take it for granted. Kita tidak menggali apa cerita di balik sebuah data dan apa yang bisa kita lakukan terhadapnya.

Profesor dari MIT, Rama Ramakhrisnan, mengemukakan hal ini dengan mengajukan pertanyaan yang sangat tepat, “The goal for a leader, from a data literacy perspective, should be, ‘How can I be a fast but effective consumer of analysis that is produced by my organization?

Membangun Budaya Berbasis Data

Untuk menyikapi fenomena kurangnya literasi data, pemimpin perlu membiasakan anggotanya berbicara dengan data, mencari data dengan berbagai tools dan cara yang optimal, serta mengolah data menjadi wawasan yang berguna untuk organisasi ke depan.

Bagaimana caranya? Pemimpin data perlu menggeser pola pikir bahwa data adalah tentang mengoperasikan tools teknologi. Kepemimpinan data tidak hanya berbicara soal mengoperasikan berbagai perangkat analisa - walaupun itu juga penting. Itu hanya lapisan terluarnya.

Kita perlu bertanya: bagaimana agar data yang kita miliki bisa menyelesaikan permasalahan. Pertanyaan ini tidak bisa dijawab hanya dengan mengoptimalkan pengoperasian tools analisis. Justru, jawaban dari pertanyaan ini bisa ditemukan ketika kita berinteraksi dengan anggota kita.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com