Namun, khusus isu ini, sejumlah ahli memberikan beragam definisi.
“Slow living berarti menata kembali hidup di sekitar dengan pemaknaan yang penuh. Mirip dengan kesederhanaan, ini menekankan pada pendekatan yang lebih sederhana dan berfokus pada kualitas hidup. Slow living juga menjawab keinginan untuk menjalani kehidupan yang lebih seimbang dan mengejar kesejahteraan holistik. Selain keuntungan pribadi, ada manfaatnya untuk lingkungan. Saat melambat, kita jadi lebih sering menggunakan lebih sedikit sumber daya sehingga limbah yang dihasilkan pun sedikit. Ini memberikan dampak baik untuk bumi.“ — Beth Meredith dan Eric Storm (dalam artikel aozora dee di laman yoursay.id)
Selanjutnya menurut artikel dari jurnal ilmiah berjudul Slow Living and the Green Economy, karya Ioncica dan Petrescu (2016), mengutip pernyataan Meredith dan Storm yang menjelaskan bahwa slow living adalah upaya menstrukturkan kembali kehidupan, khususnya terkait pemaknaan dan pemenuhan hidup.
Mirip dengan (kesediaan untuk) kesederhanaan secara sukarela (voluntary simplicity) dan perpindahan ke bawah (downshifting), ini menekankan kepada a less is more approach (dengan lebih sedikit yang dikeluarkan, justru mendapatkan lebih banyak), berfokus pada kualitas kehidupan manusia.
Seyogianya, kehadiran gaya hidup slow living ini, memberikan nasihat pada kita semua, khususnya yang sedang terjebak dalam kompetisi fast living.
Sejatinya, tidak harus tergesa-gesa untuk terlihat sukses dan kaya, sehingga akhirnya terjebak dalam gaya hidup flexing. Mengapa ini perlu ditekankan? Karena seakan-akan flexing, atau budaya pamer ini telah menjadi tradisi.
Mungkin hampir 30-40 persen isi unggahan akun pribadi bertujuan memamerkan harta, pencapaian, sedang makan di mana, sedang bersama tokoh terkenal siapa, sedang membeli produk mahal apa, dan bahkan sedang melakukan kebaikan apa.
Ketergesaan ingin segera dicap sukses dan dilabel sebagai individu berhasil, atau insan yang sholeh dan sholehah, atau remaja yang pintar, atau generasi yang berstatus sosial tinggi, membuat mereka berlomba menampilkan apapun yang mereka pikir akan meningkatkan statsu sosial mereka.
Padahal ketika semua itu semu, atau palsu, atau bahkan belum saatnya, justru akan menimbulkan stres dan tekanan baru yang berkepanjangan.
Maka gaya hidup slow living menawarkan solusinya. Tidak perlu tergesa, nikmati prosesnya. Tidak perlu berharap dicap sukses, namun berusahalah menjadi pejuang proses.
Tidak perlu ingin segera dicap kaya, namun nikmatilah kesederhanaan apa adanya. Pelan bukan berarti kalah, proses yang ’sedikit’ lambat memberikan waktu untuk terus berinstrokspeksi dalam segala tahapnya.
Slow living bukan berarti tidak punya ambisi, namun berupaya meraihnya dengan hati-hati. Slow living akan menghantarkan kita pada keyakinan bahwa kebahagian bukan berasal dari pujian orang luar, namun rasa bersyukur penuh kepada Ilahi.
Sejatinya bukan cepat atau lambat, namun sejauh mana individu memiliki pemahaman terhadap tujuan, target, misi dan alasan kenapa ia diciptakan di muka bumi ini, khususnya yang bersumber dari ilmu Agama yang diyakininya.
Sehingga ia akan terhindar dari jebakan: wrong concept, wrong understanding & wrong action.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.