KOMPAS.com - Saykoji menyebut dirinya sebagai emotional eater yang makan karena dorongan suasana hatinya.
"Gue suka makan banyak banget, gue emotional eater," ujarnya, dalam video yang diunggahnya di Instagram.
"Gue makan sebagai cara gue menangani rasa sakit batin gue," tambahnya.
Baca juga: Mengenal Apa Itu Emotional Eating, Penyebab, dan Cara Mengatasinya
View this post on Instagram
Sebagai orang yang juga tidak merokok dan banyak menghabiskan waktunya di rumah dengan nonton film dan bermain game, kecenderungan tersebut membuatnya mengalami obesitas selama bertahun-tahun.
Hal ini yang lalu menjadi motivasinya untuk mengubah gaya hidup sehingga sukses menurunkan bobot tubuh hingga 35 kilogram.
Baca juga: Cerita Saykoji Turunkan Berat Badan 35 Kilogram, Jadi Lebih Bahagia
Banyak orang makan bukan hanya karena lapar namun juga saat sedang sedih, marah atau murung.
Perilaku ini yang kemudian menjadikannya sebagai emotional eater meskipun, kadang, porsinya tidak berlebihan.
Sebenarnya, emotional eating adalah coping mechanism yang sangat normal sebagai respons terhadap perasaan yang kuat
"Definisi teknis emotional eating adalah makan untuk melarikan diri, mati rasa, mengubah, atau memperkuat perasaan kita," kata psikolog Cleveland Clinic, Susan Albers, PsyD.
Baca juga: Saat Sedih, Cobalah Konsumsi 5 Makanan Berikut...
Ironisnya, kecenderungan perilaku ini sangat lazim terjadi.
“Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 75 persen dari semua makan kita didorong oleh emosi,” tambah Dr. Albers.
“Kita makan bukan karena lapar, tapi karena bosan, stres, atau cemas.”
"Kortisol membuat kita mendambakan makanan manis, berlemak, atau asin," kata Dr. Albers.
Baca juga: Benarkah “Ngidam” Makanan Asin Berarti Tengah Mengandung Bayi Lelaki?
Budaya saat ini juga menggambarkan makanan sebagai hal yang berguna untuk meningkatkan suasana hati maupun semangat.
“Jika Anda melihat iklan atau promosi, mereka sering mendorong orang untuk beralih ke makanan sebagai sesuatu yang menenangkan,” kata Dr. Albers.
“Makanan juga sesuatu yang tersedia 24/7. Kita dapat meraihnya setiap saat sepanjang hari. Jadi ketika kita merasa stres, sangat mudah untuk langsung menuju makanan.”
Seorang emotional eater bisa dikenali lewat berbagai tanda-tanda berikut ini:
Kelaparan fisik berkembang perlahan seiring waktu namun faktor emosional menjadikannya hal yang mendadak dan tak tertahankan.
“Anda berkata, 'Saya perlu makan sesuatu. Saya butuh cokelat.’ kata Dr. Albers.
Baca juga: Alasan Tubuh Selalu Mengidam Makanan Manis
Mengidam makanan tertentu saja
Rasa mengidam seorang emotional eater juga terbatas pada makanan tertentu saja.
“Jika Anda berkata pada diri sendiri, 'Saya tidak ingin makan sesuatu hanya karena saya lapar. Saya ingin cokelat, dan hanya itu yang akan memuaskan saya, 'ini adalah tanda bahaya dari emotional eater, ” terang Dr. Albers.
Tanda lain dari emotional eater adalah makan berlebihan agar perasaannya menjadi lebih baik atau pusa.
"Tidak peduli berapa banyak mereka makan, itu tidak pernah benar-benar membawa mereka ke perasaan itu sampai mereka merasa sakit atau terlalu kenyang dan kemudian berhenti makan,” kata Dr. Albers.
Baca juga: 3 Dampak Buruk Emotional Eating dan Cara Mengatasinya
Namun ketika makan, mereka tetap berharap mendapatkan sensasi yang berbeda dan mengubah kondisi emosionalnya.
Baca juga: Kebiasaan Makan Malam Bikin Gemuk, Mitos atau Fakta?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.