Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Jadi Korban "Ghosting"? Begini Cara Mencegah dan Mengatasi Dampaknya

Kompas.com - 20/07/2023, 12:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Runi Michiko dan Denrich Suryadi M.Psi., Psikolog*

PROSES mencari pasangan yang tepat di zaman sekarang bukan hal mudah. Salah satu fenomena yang muncul di kalangan dewasa muda saat ini adalah menjadi korban ghosting.

Ghosting merupakan keadaan seseorang menghilang secara tiba-tiba saat sedang menjalin hubungan.

Perilaku ghosting memberikan dampak tidak ringan bagi korbannya. Menurut psikolog Jennice Villahauer (dalam Rohmatin et al., 2021), dampak ghosting yang pertama adalah korban merasa bingung dan sulit memahami kondisi bahwa ia telah di-ghosting.

Dampak kedua dapat membuat korban merasa sulit memberi toleransi rasa sakit hati karena ditinggalkan dan mengakibatkan korban menjadi rendah diri.

Ketiga, korban ghosting merasakan rasa sakit yang sama seperti disakiti secara fisik.

Keempat, korban menyalahkan diri sendiri terhadap situasi ghosting karena mereka tidak tahu penyebab dan kesalahan yang membuat hubungan berakhir.

Sehingga korban ghosting menjadi merasa rendah diri dan sulit bangkit dari sakit hati (Rohmatin et al., 2021).

Saya tidak mau jadi korban ghosting, jadi bagaimana?

Untuk mencegah jadi korban ghosting, pada awal menjalin relasi pertama kita perlu mengenal pasangan terlebih dahulu.

Berdasarkan teori Erikson yang membahas teori perkembangan seorang dewasa muda, diperlukan penuntasan tugas perkembangan masa remajanya, yaitu apakah seseorang mampu mengenali diri melalui identitas diri sehingga memiliki kesiapan mental untuk menjalin relasi berkomitmen dengan pasangannya.

Cara kita dapat mengetahui apakah calon pasangan kita sudah siap dalam berkomitmen atau belum adalah dengan mengetahui seberapa ia dapat menerima kekurangan dalam keluarganya.

Kemudian, bagaimana ia dapat menerima masa lalunya tanpa membuat citra buruk tentang orang-orang dan pengalaman yang pernah ia alami; dan seberapa ia mengetahui apa yang dia ingin lakukan pada masa depan (cita-cita, harapan, dan keinginan).

Bagaimana jika sudah mengalami perilaku ghosting?

Untuk mengatasi ghosting agar tidak menjadi luka mendalam, korban ghosting perlu memiliki resiliensi untuk dapat menerima, bangkit kembali, dan tidak terpuruk dalam situasi tersebut (Rohmatin et al., 2021).

Menurut Reivich dan Shatte (dalam Suryadi, 2018), resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan, mengatasi, dan beradaptasi kepada masalah dan tekanan.

Reivich dan Shatte menjelaskan beberapa fungsi resiliensi. Fungsi resiliensi yang pertama adalah overcoming.

Overcoming merupakan cara mengubah pola pikir seseorang menjadi lebih positif sehingga meningkatkan kemampuan seseorang untuk mengontrol kehidupannya.

Mengubah pola pikir apa yang terjadi jika saya terus melanjutkan hubungan ini dengan orang yang meng-ghosting saya? Apakah saya akan bahagia?

Fungsi kedua adalah steering through. Steering through merupakan kondisi seseorang dapat mengontrol dan mengendalikan dirinya sendiri saat menghadapi masalah.

Dengan menempatkan diri telah di-ghosting, maka kita belajar untuk tidak bersikap impulsif seperti marah berlebihan, menyakiti diri sendiri, atau menunda pekerjaan.

Lalu fungsi ketiga adalah bouncing back. Bouncing back merupakan seseorang yang dapat mengontrol rasa kemalangan mereka dan mampu kembali ke kehidupan normal setelah trauma yang dialami.

Apabila kita mampu menerima dan mengendalikan diri atas kejadian yang telah terjadi, maka kita akan mampu menjalani kehidupan kita sehari-hari dengan lebih positif.

Teknik bouncing back menyembuhkan diri sendiri dengan karakteristik overcoming, steering through, dan bouncing back.

Lalu faktor terakhir dari fungsi resiliensi adalah reaching out. Seseorang yang memiliki karakteristik reaching out dapat melakukan tiga hal dengan baik, yaitu memperkirakan risiko, mengenal diri sendiri dengan baik, dan dapat menemukan makna dan tujuan hidup.

Setelah itu, kita akan lebih berani menjalani relasi baru dengan pemaknaan dan pemahaman berbeda, lebih mampu memiliki pertimbangan dan pengambilan keputusan lebih tepat.

Selain dari kemampuan resiliensi, saran untuk seseorang yang menjadi korban ghosting berdasarkan jurnal (Rohmatin et al., 2021) yang pertama adalah menerima kondisi dahulu bahwa kita telah menjadi korban perilaku ghosting.

Lalu kedua, menyadari dan menerima perasaan negatif yang muncul. Cara ketiga, mencari tahu apa yang sedang dibutuhkan oleh diri sendiri saat ini, agar terhindar dari rasa bersalah berlebih.

Cara keempat, hindari keinginan atau menghubungi pelaku ghosting. Jika menghubungi pelaku ghosting, maka akan menambah rasa sakit diri sendiri karena belum sepenuhnya berdamai.

Cara terakhir, yaitu melakukan aktivitas produktif untuk menghindari kesendirian yang terlalu lama.

Cara lain untuk mengatasi permasalahan saat menjadi korban ghosting, menurut jurnal (Sahrullah et al., 2022), yaitu dengan cara problem focused coping dan emotion focused coping.

Problem focused coping merupakan cara untuk mengatasi masalah dengan secara langsung fokus pada penyelesaian masalah atau yang menjadi sumber stres.

Cara yang dapat dilakukan adalah dengan menemukan solusi mengatasi dampak ghosting itu sendiri, yaitu dengan mencari aktivitas baru bersama teman, membuka jejaring sosial berfokus kepada aspek kehidupan yang lebih penting (seperti studi dan pekerjaan).

Dalam problem focused coping membuat individu untuk berpikir secara logis dalam menyelesaikan masalah.

Selain problem focused coping terdapat emotion focused coping. Emotion focused coping adalah penyelesaian masalah individu dengan menenangkan emosi (Yuhenita, 2004; Marwing, 2011, dalam Iqramah et al., 2018).

Cara yang dapat kita lakukan untuk mengatasi dampak ghosting dengan emotion focused coping dapat berupa bercerita dan mencurahkan perasaan kepada orang terdekat dan dipercaya.

Selain itu, mengikuti konseling dengan profesional, aktivitas journaling, berdoa, belajar berpikir positif pascamengalami ghosting, belajar memaafkan, atau melakukan meditasi untuk mengelola emosi dengan lebih positif.

*Runi Michiko, Mahasiswa S1 Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara
Denrich Suryadi M.Psi., Psikolog, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com