KOMPAS.com - Setiap orangtua ingin anaknya menjadi pribadi yang baik, penuh empati dan mempertimbangkan perasaan orang lain.
Harapan tersebut diaplikasikan dengan mengajari anak melakukan tanggung jawabnya sendiri dan rela berbagi sejak dini.
Namun ada anak-anak yang melakukan lebih dari sekadar memenuhi permintaan dasar orangtuanya.
Baca juga: Waspada Pola Asuh Overparenting, Ketika Orangtua Terlalu Mengatur Anak
Mereka merasa tertekan untuk selalu menyenangkan dan bertanggungjawab atas emosi orangtuanya.
Hal ini yang kemudian menjadikan anak tumbuh menjadi people pleaser dan mengabaikan kebutuhan dirinya sendiri.
“Semua anak kecil ingin menyenangkan orangtuanya, agar mereka merasa lebih diterima dan aman dalam konstelasi keluarga," terang Leon Seltzer, seorang psikolog keluarga di Seattle.
Di sisi lain, ada anak yang bersikap berlebihan karena cemas dan tidak yakin akan kasih sayang orangtuanya.
Mereka akhirnya meremehkan atau mengabaikan kebutuhan sendiri untuk memenuhi keinginan orangtuanya.
Baca juga: Sulit Berkata Tidak? Psikolog UGM Sebut Ciri People Pleaser
“Kebahagiaan dan/atau persetujuan orangtua menjadi prioritas di atas pikiran atau perasaan mereka sendiri," jelas Kathleen Schlegel, terapis pernikahan dan keluarga berlisensi di Philadelphia, soal anak seperti ini.
Mereka merasa kasih sayang orangtuanya bersyarat sehingga berusaha keras mendapatkannya.
Hal yang sama juga bisa terjadi jika anak-anak percaya bahwa merekalah yang bertanggung jawab atas kebahagiaan ayah-ibunya.
Kecenderungan ini kerap kali terjadi pada rumah tangga imigran dan keluarga yang berasal dari budaya yang lebih kolektivis.
Baca juga: Tanpa Marah, Lakukan Ini untuk Mengendalikan Emosi Anak
Akhirnya, anak merasa harus selalu mendukung orangtuanya dengan secara cara termasuk memuaskan emosinya.
Pada akhirnya, anak tumbuh menjadi people pleaser di masa dewasanya karena merasakan hal serupa pada orang lain.
Ada sejumlah gejala dini people pleaser yang bisa kita kenali pada anak-anak, antara lain:
Dalam kasus tertentu, kecenderungan people pleaser sejak dini membuat anak termotivasi untuk lebih berprestasi agara orangtuanya senang.
Baca juga: Tanda-tanda People Pleaser dan Cara Mengatasinya
Menjadi buruk saat anak tidak mempertimbangkan aspirasinya sendiri, mengabaikan pemikiran, pendapat, atau keinginan mereka sendiri.
Selain itu, anak perempuan juga lebih berisiko menjadi people pleaser karena faktor budaya.
“Anak perempuan diajari untuk lebih banyak mendengarkan dan berempati, memperhatikan dan memikirkan orang lain sebelum mengambil keputusan,” jelas Sagaram.
Baca juga: 9 Cara Membangun Rasa Percaya Diri Anak Perempuan
Perilaku people pleaser pada anak bisa berdampak luas secara jangka panjang untuk tumbuh kembangnya.
Mereka berisiko gagal mengembangkan kepribadiannya dan sulit memahami keinginan maupun kebutuhannya sendiri saat dewasa.
Jika anak menyimpulkan bahwa nilai-nilai mereka didasarkan pada kepuasan preferensi orang tua mereka, program batin seperti itu, setelah tertanam dalam diri mereka, menjadi prasyarat bagi mereka untuk memenangkan penerimaan orang lain," kata Seltzer.
Dalam situasi tertentu, ini bisa membuat anak dimanfaatkan orang lain, yang pada akhirnya buruk untuk kesehatan mental.
Baca juga: Stop Jadi People Pleaser Demi Kesehatan Mental
“Seringkali, orang berasumsi bahwa usaha yang mereka berikan kepada orang lain entah bagaimana akan dikembalikan kepada mereka, padahal sebagian besar tidak terjadi dan dapat mengakibatkan perasaan benci, kesepian, sedih, marah," pungkas Schlegel.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.