Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 20/11/2023, 18:43 WIB
Dinno Baskoro,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Saat ini, mulai banyak masyarakat yang beralih menggunakan vape atau rokok elektronik sebagai alternatif rokok tradisional.

Sebagian orang menganggap, peralihan itu menawarkan harapan dapat menurunkan risiko kesehatan termasuk kanker paru-paru.

Padahal, berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), vaping atau vape tetap berbahaya bagi kesehatan dan tidak bisa dianggap alternatif yang lebih sehat daripada rokok biasa.

Vaping juga berkaitan dengan peningkatan risiko penyakit jantung dan paru-paru seperti infark miokard, asma, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dalam jangka pendek, iritasi atau cedera pada mulut, tenggorokan dan paru-paru, serta sakit kepala.

Meski pada efek jangka panjang pada kesehatan dampak vape masih belum diketahui secara ilmiah, Dr Chin Tan Min, Konsultan Senior, Onkologi Medis di Parkway Cancer Centre (PCC) mengatakan, vape tetap mengandung nikotin, bahan kimia yang sangat adiktif yang juga terdapat pada rokok tradisional.

"Saat dihirup, nikotin dengan cepat memasuki aliran darah dan mengaktifkan reaksi kimia di otak yang merangsang perasaan senang sementara yang dapat menyebabkan kecanduan."

Demikian kata Dr Chin dalam keterangan persnya kepada Kompas.com.

Baca juga: Perokok Rentan Terkena Kanker Paru Sel Kecil, Lebih Berbahaya? 

Mengingat akan hal itu, benarkah vaping tidak meningkatkan risiko seseorang terpapar kanker paru-paru?

Menurut Dr. Chin, saat ini memang belum ada bukti vaping secara langsung menyebabkan kanker paru-paru.

Pasalnya, sebagian besar pengguna vape adalah perokok aktif atau mantan perokok, sehingga sulit secara akurat menentukan apakah ada efek pada kesehatan yang disebabkan oleh vaping, rokok, atau keduanya.

Selain itu, karena vaping tergolong relatif baru, mungkin diperlukan waktu bertahun-tahun sebelum mendapatkan data konkret tentang efek jangka panjang dan hubungannya dengan kanker paru-paru.

"Seperti rokok tradisional, vape juga mengandung nikotin, beberapa dengan konsentrasi yang sangat tinggi sehingga bisa membuat kecanduan khususnya bila digunakan secara teratur, atau sebagai mekanisme penanganan pada saat tertekan," kata Dr Chin.

Terlebih vape tidak dibakar seperti rokok tradisional sehingga penggunanya kemungkinan secara tidak sadar menghirup asap vape lebih dari yang mereka sadari.

Meski begitu, Dr Chin menambahkan, vaping dalam jangka panjang tetap memungkinkan paparan bahan beracun berpotensi merusak organ paru-paru. 

Dengan demikian, kemungkinan risiko kanker paru akan sama seperti kebiasaan merokok.

Baca juga: Pasien Kanker Paru Indonesia Lebih Muda daripada Luar Negeri, Rokok Penyebabnya 

Ilustrasi rokok elektrik. SHUTTERSTOCK/YARRRRRBRIGHT Ilustrasi rokok elektrik.

Kanker paru-paru sendiri merupakan satu di antara jenis kanker yang umum terjadi di Indonesia.

Berdasarkan data Globocan pada 2020, kanker paru-paru menempati urutan ke-3 kasus kanker baru di Indonesia yaitu 34.783 kasus.

Tingginya kasus kanker paru-paru yang terjadi di Indonesia juga sejalan dengan angka kematian yang cukup besar akibat penyakit tersebut.

Kata dokter Chin, kanker paru-paru menjadi penyebab kematian nomor satu pada pria akibat kanker, dan nomor dua pada wanita.

"Setiap orang berisiko terkena kanker paru-paru, terutama mereka yang rentan terpapar asap polusi, asap pabrik, serta asap rokok, baik perokok aktif mau pun perokok pasif," tandas dia.

Baca juga: Bocah 12 Tahun Divonis Paru-paru Kolaps dan Koma Selama 4 Hari akibat Kecanduan Vape 

Pengobatan kanker paru

Ilustrasi pengobatan kanker paruUnsplash Ilustrasi pengobatan kanker paru

Seiring perkembangan teknologi dan pengobatan saat ini, Dr Chin Tan Min mengatakan, pengobatan kanker paru semakin inovatif.

Beberapa di antaranya melibatkan pembedahan, kemoterapi, terapi radiasi hingga yang terkini adalah immunoterapi.

Kata Dr Chin, khususnya pada pengobatan immunoterapi, metode ini bisa diterapkan sendiri atau juga dapat dikombinasikan dengan kemoterapi di fase pengobatan kanker paru stadium awal atau dikombinasikan dengan pengobatan lain.

"Immunoterapi melibatkan penggunaan obat-obatan yang disebut penghambat pos pemeriksaan untuk memungkinkan sistem kekebalan mendeteksi sel kanker yang disamarkan dan menyerangnya," kata Dr Chin.

Sama seperti pengobatan kanker lainnya, terapi penyembuhan dengan imunoterapi juga memiliki efek samping.

Terkadang, imunoterapi dapat menyebabkan respons imun yang terlalu terstimulasi, yaitu ketika sistem kekebalan menargetkan organ lain dari pasien, seperti paru-paru, hati, dan usus besar.

Meski demikian, pasien biasanya dapat menoleransi imunoterapi dengan baik sehingga sebagian besar efek samping tersebut dapat dikelola secara efektif oleh tim perawatan klinis terlatih.

"Terapi ini telah memperbaiki tingkat kelangsungan hidup dengan cukup signifikan, dan pasien kanker paru Stadium IV rata-rata bertahan hidup selama 2-3 tahun," tutur Dr Chin.

Baca juga: Vape dan Rokok Elektrik Bebas dari Penyakit Paru, Yakin? 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com