Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Tak Memaafkan Orang yang Menyakiti Bukan Berarti Jahat

Kompas.com - 10/03/2024, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Maryam Zahra dan Meiske Y. Suparman M. Psi., Psikolog*

RASANYA di dalam hidup, kita tidak pernah lepas dari pengalaman tersakiti dan menyakiti. Manusia adalah makhluk sosial dan akan terus berinteraksi dengan orang lain sehingga memungkinkan bagi kita untuk terkena konflik kapanpun.

Kita tidak pernah mau berada di posisi salah satunya karena keduanya jelas tidak mengenakkan.

Setelah mengalami kejadian tersakiti pastinya kita mau mendapatkan kata maaf dari orang yang sudah menyakiti diri kita agar rasa sakit kita bisa terobati.

Sayangnya seringkali kita diminta untuk ikhlas dan segera memaafkan orang yang sudah menyakiti, katanya biar tidak ada dendam dan hidup tenteram.

Menurut psikologi positif, dengan memaafkan, maka kita bisa menjadi manusia sehat. Hal yang paling penting adalah pemulihan hubungan interpersonal antarindividu setelah terjadinya konflik.

Memaafkan juga dapat mengurangi tanggapan negatif yang terjadi setelah konflik. Namun, memaafkan bukanlah hal yang mudah karena kita akan merasakan berbagai emosi negatif seperti marah, benci, dendam, dan kecewa setelah apa yang sudah terjadi.

Banyak kejadian dan fenomena yang membuat seseorang enggan memaafkan kesalahan orang lain, sehingga akumulasi emosi negatif berdampak besar pada kehidupan seseorang, bahkan kesehatan mentalnya.

Contohnya ketika kita kesal seseorang menyakiti kita, entah melalui tindakan ataupun ucapannya. Secara tidak langsung kita akan selalu mengingat kejadian itu dan merasa kesal, sedih, hingga kecewa yang membuat kita memendam emosi negatif.

Terkadang secara tidak sadar segera menjauh dari orang yang telah menyakiti kita atau bahkan membalas perbuatan orang tersebut secara tidak sadar.

Contoh kasus lainnya yang cukup berat dan menyebabkan orang sulit memaafkan, misalnya, terjadi pada seorang remaja, yang memiliki obsesi untuk membunuh ayahnya, dikarenakan ia memiliki trauma masa lalu.

Dahulu ia sering melihat ayahnya melakukan tindak kekerasan terhadap anggota keluarganya. Selain itu, ia juga sering mendapat ancaman dari kakaknya. Ancaman tersebut bukan hanya verbal saja, tetapi juga kekerasan yang dilakukan kakaknya terhadap dirinya.

Semua kekerasan yang pernah ia dapat atau ia lihat di masa lalu membuat dirinya menyimpan perasaan marah, kecewa, sedih, trauma, dan emosi negatif. Hal itu menumbuhkan obsesi agar dapat membalas perlakuan ayahnya.

Waktu yang diperlukan seseorang untuk memaafkan berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Memaafkan tidak dapat dipaksakan, seharusnya dilakukan dari hati.

Jika seseorang belum dapat memaafkan, bukan berarti ia jahat. Namun mungkin ia masih perlu waktu lebih lama untuk menerima kenyataan dan membuat keputusan memaafkan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com