Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/04/2024, 07:07 WIB
Wisnubrata

Editor

KOMPAS.com - Penuh teka-teki dan misteri, wewangian telah lama membuat manusia terpesona. Walau tidak terlihat oleh mata, namun aroma parfum memiliki kekuatan untuk membangkitkan ingatan, emosi, kepribadian, dan fantasi. 

Namun apakah yang sebenarnya dicari orang saat memilih dan membeli wewangian saat ini?

Untuk memahami bagaimana konsumen menemukan, membeli, dan pada akhirnya memakai wewangian, situs Highsnobiety melakukan survei bernama “State of Fragrance”.

Survei yang dilakukan pada bulan Agustus 2023 itu menanyai 291 peserta tentang hubungan mereka dengan parfum, kebiasaan membeli, dan pandangan terkini mereka mengenai industri wewangian.

Baca juga: Cara Memilih Wewangian yang Tepat untukmu

Dengan membagi pengalaman wewangian menjadi empat bagian – niat atau intensi, menemukan, membeli, dan kepuasaan saat memakai parfum – survei ini ingin mengumpulkan tren dan preferensi konsumen secara menyeluruh, serta perbedaan utama antara pemula dan penikmat wewangian.

Intensi: Mengapa kita ingin wangi tertentu

Tujuh puluh dua persen responden survei menggunakan wewangian dalam rutinitas sehari-hari mereka. “Parfum adalah bentuk ekspresi pribadi,” kata Noah Jackson, ahli strategi merek yang tinggal di New York City. 

Ia yakin konsumen tidak lagi menganggap parfum sebagai alat untuk menarik lawan jenis, sebuah persepsi yang kerap digambarkan dalam iklan wewangian. Sebaliknya, orang memilih wewangian yang terasa cocok dengan identitasnya, di mana 75 persen mengatakan koleksi wewangian mereka digunakan sebagai sarana ekspresi diri.

“Wewangian adalah penambah kepercayaan diri. Aromanya menjelaskan siapa kita, atau cara kita ingin dikenal oleh dunia,” kata Jackson. “Ini lebih tentang diri kita sendiri daripada tentang orang lain.” 

Ashlie Head, manajer senior konten digital di Lancôme, menyampaikan pendapatnya: “Segala sesuatunya sedang berubah. Wewangian dipakai untuk menyenangkan diri sendiri — seperti kepuasan internal — dibandingkan untuk mencari pengakuan eksternal.” 

Head juga menggunakan aroma sebagai penggugah kenangan. “Nenek saya memiliki wangi yang khas – dia memakai Gucci Bloom. Saat tumbuh dewasa, ibuku juga memakai wewangian tertentu. Saya menyukai kenyataan bahwa wewangian bisa menggugah kenangan.”

Bagi sebagian besar responden, memilih wewangian yang akan dikenakan pada hari tertentu adalah seperti memilih pakaian. Mereka mempertimbangkan suasana hati dan acara ketika memilih suatu aroma. 

“Apakah saya ingin merasa genit, segar, atau berkuasa dan percaya diri, perasaan itu menentukan aroma wewangian yang ingin saya pakai,” kata Trey Taylor, direktur editorial senior di Day One Agency. 

Bagi yang lain, hubungan antara wewangian dan pakaian lebih eksplisit. Mereka menyebutnya scent of the day (SOTD), atau aroma hari ini. 

“Jika saya ingin tampil klasik, saya akan memilih wewangian yang lebih edgy,” kata Chloë Belotti-Sonnois, seorang headhunter yang berbasis di Paris dan New York City. “Wewangian adalah penghubung jiwa dengan pakaian saya.”

Meskipun 71 persen responden mengakui pentingnya memiliki wewangian "signature" dengan aroma khas, namun banyak dari mereka yang memiliki lebih dari satu parfum, bahkan sebagian punya lima atau lebih wewangian berbeda. 

Dibanding pemula, para penyuka parfum 3,2 kali lebih cenderung menggunakan parfum sebagai cara bereksperimen dengan aroma baru dan pengalaman penciuman. Mereka juga 1,6 kali lebih mungkin melapiskan beberapa wewangian untuk menciptakan aroma yang benar-benar unik. 

Keinginan untuk tampil unik ini mejadi alasan responden mengeksplorasi merek dan wewangian yang kurang dikenal untuk “menghindari orang lain menggunakan parfum yang sama.”

Jackson juga menyinggung kesan eksklusif yang muncul dari penggunaan aroma yang misterius. “Berapa kali saya mengalami seseorang berkata, 'Kamu harum sekali. Apa yang kamu kenakan?’ dan hal tersebut membuat kita merasa keren,” katanya. 

Baca juga: Agar Tidak Salah, Ketahui Tips Memilih Wewangian yang Paling Cocok

Parfumpexels.com Parfum

Menemukan parfum yang cocok, bagaimana prosesnya?

Internet adalah alat yang ampuh untuk mencari dan menemukan parfum yang cocok. Banyak akun media sosial, video, dan situs yang berfokus pada wewangian. Konten-konten ini umumnya bisa dipakai untuk memberi gambaran wangi seperti apa yang cocok untuk kita. Beberapa review juga bisa membuat kita membayangkan aroma parfum yang menarik perhatian.

Jackson misalnya menyebut Fragrantica, sebuah situs yang berfungsi sebagai ensiklopedia parfum, review, dan forum diskusi, sebagai “kitab suci” wewangian.

Semua konten ini memiliki pengaruh “besar” terhadap keputusan apakah orang akan membeli sebuah parfum atau tidak.

Meskipun Internet memainkan peran penting dalam memicu minat terhadap suatu merek atau parfum, konsumen tidak dapat mencium aroma melalui layar (setidaknya sampai saat ini). 

Jadi apa yang dimulai sebagai perjalanan online ini akan berubah menjadi pencarian offline. Empat puluh lima persen responden mengandalkan informasi dari mulut ke mulut untuk menemukan wewangian baru dan, meskipun e-commerce sedang berkembang, 40 persen masih memilih untuk mencoba dan membeli wewangian baru langsung di butik. 

Secara umum, menguji wewangian sebelum membeli adalah suatu keharusan bagi hampir 80 persen responden — hanya 15 persen pemula dan 30 persen ahli yang bersedia melakukan “blind-buy” parfum.

Memang kita semua menghargai luasnya informasi mengenai merek dan parfum yang tersedia secara online, namun gambaran virtual tersebut hanya berguna sampai titik tertentu.

“Kita bisa mencari info di Fragrantica, tapi terkadang lebih pas jika ada seseorang yang memberi rekomendasi untuk mencoba wewangian tertentu,” kata Jackson. 

Wewangian bersifat pribadi, membangkitkan emosi dan ingatan yang berbeda-beda tergantung siapa yang menciumnya, dan mengandalkan konten online yang tidak bisa dicium tentu kurang efektif jika dibandingkan dengan pencarian langsung. 

Baca juga: Apa Itu Parfum Niche dan Mengapa Makin Populer?

Apa yang jadi alasan orang membeli suatu parfum

Taylor, yang rela menghabiskan jutaan rupiah untuk membeli wewangian, mengapresiasi botol parfum yang terlihat bagus. “Ini adalah sebuah benda seni sekaligus sesuatu yang membuat kita wangi,” katanya. 

Hampir separuh responden setuju bahwa kemasan dapat menentukan keputusan pembelian. Botol parfum yang dirancang dengan baik akan memberi nilai lebih terhadap isi di dalamnya.

Tujuh puluh satu persen responden bersedia menghabiskan lebih dari Rp 1,5 juta untuk sebotol wewangian — dan yang lebih mengesankan, sepertiga penyuka parfum bersedia mengeluarkan hingga Rp 8 juta untuk wewangian yang tepat. Namun mereka tidak akan membeli asal-asalan.

Saat memutuskan pembelian, 87 persen responden mempertimbangkan aroma dan bahan-bahan parfum sebagai faktor penentu.

Tentu saja, selera penciuman setiap orang berbeda-beda, namun 80 persen responden menghargai ketahanan suatu aroma, sehingga mereka lebih memilih aroma dasar yang tahan lama seperti vanilla, amber, rempah-rempah, dan kayu.

Dalam wawancara, sebagian besar responden setuju bahwa pemasaran wewangian sudah ketinggalan zaman. “Industri ini masih terjebak dalam era gadis sexy-menunggang kuda, lalu ada pria kuat datang, setengah telanjang dan basah habis keluar dari air,” kata Taylor. 

“Jujur saja, ini tidak cocok,” Jackson menambahkan. “Merek mengiklankan wewangian dengan cara yang membuatnya tampak seolah 'dengan memakai ini, kamu langsung mendapatkan daya tarik seks.' Itu persepsi yang sudah ketinggalan zaman tentang fungsi wewangian.”

Visual hiperseksual yang sering menyertai iklan parfum juga mencerminkan gender heteronormatif dalam wewangian: Wewangian yang berat dan woody sering kali dipasarkan sebagai “maskulin”, sedangkan wewangian bunga dan buah-buahan disebut-sebut sebagai “feminin”, suatu kecenderungan yang terasa ketinggalan jaman. 

Saat ini, enam puluh satu persen responden mengabaikan kategorisasi gender suatu wewangian, di mana 24 persen pemula dan hanya 8 persen pakar memilih untuk berbelanja wewangian yang dirancang khusus untuk gender mereka. 

Hubungan brand dengan selebriti juga dibahas dalam penelitian ini. Hanya 2 persen yang tertarik pada merek parfum milik selebriti, dan 1 persen mempertimbangkan dukungan selebriti saat berbelanja wewangian.

“Rasanya sangat tidak autentik… Tapi saya menghargai pemasaran ini,” kata Taylor tentang parfum yang menampilkan selebriti. 

Belotti-Sonnois, yang biasa menghabiskan hingga Rp 3 juta lebih untuk membeli parfum yang tepat, juga kecewa. “Jika saya melihat [sebuah merek] berusaha membayar seorang selebriti, sepertinya mereka mengurangi anggaran untuk bahan-bahannya. Saya lebih suka melihat yang sebaliknya.”

Daripada mengandalkan selebriti dan iklan untuk menjual parfum, Taylor berharap merek akan memfokuskan strategi pemasaran mereka pada pembangunan citra. 

Jackson juga percaya bahwa iklan wewangian lebih dari sekedar wajah terkenal. “Saya lebih tertarik jika ada fotografi abstrak,” katanya. “Saya merasa aroma dapat direferensikan secara menarik melalui tekstur atau gaya fotografi.”

Namun kembali lagi, seseorang terutama memutuskan membeli parfum karena wanginya yang cocok, bukan karena iklan, selebriti, atau hal lain.

Baca juga: Aroma Kayu dalam Parfum, Memberi Kemewahan dan Kehangatan

Ilustrasi memilih aroma parfum yang cocok di siang hariLux Magazine Ilustrasi memilih aroma parfum yang cocok di siang hari

Kepuasan memakai, wangi yang memberi kesan dan yang terlupakan

Wewangian niche sedang mendapatkan tempat di hati penyuka parfum. Tujuh puluh delapan persen responden tertarik pada merek niche (namun berpengaruh) seperti Le Labo, Byredo, dan Diptyque, yang disukai karena nuansa seninya.

Responden juga menyebutkan D.S. & Durga, Kilian Paris, Frédéric Malle, dan pemenang Fragrance Foundation Award 2023 BDK Parfums di antara brand niche favorit mereka.

Meskipun demikian, merek wewangian rancangan desainer – yang sebagian besar telah berdiri selama beberapa dekade dan memiliki reputasi dalam hal kualitas dan prestise – masih memiliki pengaruh.

Lima puluh delapan persen responden mengatakan label seperti Chanel, Dior, dan YSL tetap menarik. Merek desainer baru, yaitu Loewe, Tom Ford, dan Maison Margiela dengan Replica-nya, juga populer di kalangan responden.

Secara umum, ada keinginan dari pembeli untuk mendapatkan informasi lebih transparan dan mendidik seputar wewangian, yang dianggap oleh banyak orang sebagai bentuk seni alkimia yang misterius. Empat puluh empat persen responden menyatakan bahwa mereka menganggap notes wewangian dan terminologinya membingungkan. 

Salah satu topik yang sangat membingungkan adalah penggunaan bahan-bahan alami dan sintetis, sesuatu yang Taylor harap dapat dijelaskan oleh merek.

Meskipun sebagian besar pembuat parfum setuju bahwa bahan sintetis sangat penting dalam memformulasikan wewangian yang seimbang dan seringkali lebih ramah lingkungan dibandingkan bahan alami, rasa takut  mengenai keamanan bahan-bahan yang “tidak alami” masih muncul.

“Saya berharap merek dapat menjelaskan mengapa mereka menggunakan bahan sintetis,” kata Taylor. “Ini percakapan yang sangat membosankan, tapi orang-orang perlu mendengarnya.”

Kesadaran yang lebih besar terhadap bahan-bahan juga menawarkan peluang bagi brand untuk memperkaya cerita mereka — dan bisa meningkatkan popularitas.

“Jika media sosial membagikan bagaimana produk itu dibuat dan dari mana inspirasi mereka berasal, hal itu cenderung menarik saya,” kata Belotti-Sonnois. “Hal ini membuat saya lebih bersemangat untuk mencobanya.”

Head melihat konten media sosial sebagai lahan subur bagi wewangian – tapi ini rumit. “Pada tutorial tata rias, kita mendapatkan kepuasan instan saat melihat hasilnya. Bahkan untuk skincare, kita dapat melihat foto perkembangannya. Sedangkan wewangian lebih sulit untuk diungkapkan,” katanya. 

Meskipun terdapat tantangan dalam mengkomunikasikan wewangian di TikTok dan Instagram, Head suka melihat influencer membuat konten wewangian, terutama ketika dia dapat melihat bagaimana mereka memadukan parfum dengan pakaian tertentu.

Konten media sosial bukan satu-satunya hal yang dapat membantu konsumen memvisualisasikan aroma. Head juga berharap ada kuis untuk mencarikan konsumen wewangian yang mungkin mereka sukai: “Seperti, 'Jika kamu menyukai jenis wewangian ini' atau 'Jika kamu pernah membeli X, Y, dan Z sebelumnya, kamu mungkin menyukai ini.' ”

Berbicara mengenai kebingungan yang sering menyelimuti terminologi wewangian, Jackson lebih tertarik melihat merek menjelaskan berbagai kelas dalam wewangian.

“Saya sudah mencarinya di Google jutaan kali, tapi eau de parfum, eau de toilette… Ini membingungkan,” katanya, sambil menyebutkan istilah yang digunakan untuk menunjukkan konsentrasi minyak parfum dalam wewangian (parfum dan extrait adalah yang paling kuat, diikuti oleh eau de parfum, eau de toilette, eau de cologne, dan eau fraîche). 

Yang jelas, di luar segala kebingungan itu, hal yang paling dihargai seseorang setelah membeli parfum adalah keharumannya yang enak, tahan lama, dan menyebar dengan pas.

Baca juga: Elixir dengan Eau de Parfum, Apa Bedanya?

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by KOMPAS Lifestyle (@kompas.lifestyle)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com