JAKARTA, KOMPAS.com - Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) atau rasa takut ketinggalan semakin marak di kalangan masyarakat, terutama di media sosial.
Istilah ini sering kali berkaitan dengan tren yang sedang populer di dunia maya. Termasuk salah satunya terkait dengan fenomena mengoleksi tumbler.
Saat ini, pembelian tumbler atau botol minum kekinian tengah naik daun, berkat desain dan warna yang semakin unik.
Baca juga:
Meskipun beberapa produsen membanderol harga tumbler dengan nominal yang cukup mahal, banyak masyarakat yang tetap rela mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk memilikinya.
Kendati demikian, tumbler termasuk salah satu barang yang digunakan sehari-hari.
Sementara tren yang masuk dalam kategori FOMO umumnya lebih banyak berkaitan dengan barang-barang yang tidak terlalu berdampak pada kehidupan sehari-hari.
Lantas, apakah membeli tumbler dengan harga mahal termasuk bentuk FOMO meski benda tersebut bermanfaat?
"Iya, mereka (pembeli) kan tidak ingin ketinggalan," ungkap Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Profesor Dr Sunyoto Usman, kepada Kompas.com, Minggu (6/10/2024).
Menurutnya, ketika seseorang membeli barang yang sedang populer, mereka kemungkinan besar ingin memenuhi gengsi.
Setiap barang baru yang naik daun sering kali dianggap sebagai simbol status.
"Artinya, orang-orang yang berhasil memperoleh suatu barang yang sedang ramai dibicarakan akan lebih 'dianggap' dan 'tahu duluan'," jelas Sunyoto.
Baca juga:
Ia menambahkan bahwa dalam suatu kelompok, individu yang lebih awal mengetahui suatu informasi akan lebih dihargai.
FOMO juga dipengaruhi oleh media sosial yang memungkinkan arus informasi tersebar secara cepat dan luas.
Corkcicle, botol minum yang tengah hits di Indonesia. Akses informasi yang terbuka di media sosial membuat banyak orang dapat dengan mudah mengetahui model dan warna terbaru dari tumbler.
"Biasanya, kalau (informasi) cepat dan terbuka, orang enggak mikir. Tidak ada pertimbangan yang lebih dalam (sebelum membeli barang baru). Karena banyak diomongin (di media sosial), dia jadi tergerak mau ikutan beli," terang Sunyoto.
Baca juga:
Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak semua orang yang menerima informasi tersebut memiliki daya beli yang sama.
Hal ini menjelaskan mengapa individu yang mampu membeli barang-barang terbaru yang sedang viral sering kali lebih dipandang dalam lingkup pertemanannya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang