
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
Muntah dan diare berat bisa berakibat fatal – sebab dehidrasi membuat kerja organ terganggu. Nyeri kepala, keram perut biasanya terjadi 12-72 jam pasca konsumsi.
Banyak awam mengira memberi minum susu pada penderita dianggap susunya bisa ‘mengikat’ racun. Padahal, justru bisa memperburuk keadaan terutama bagi yang intoleran laktosa.
Untuk membantu mengeluarkan racun dan menjaga status hidrasi, tubuh perlu kecukupan cairan. Memperbanyak minum air (jika tidak muntah) dan air kelapa lebih membantu karena kandungan elektrolitnya.
Keracunan makanan pada MBG adalah kasus serius. Ini merupakan indikator ketidaksiapan semua pihak untuk melaksanakan program dengan bertanggungjawab.
Uji coba pra MBG resmi dicanangkan, mestinya bukan ajang seremonial kunjungan petinggi, tapi keseriusan SPPG menjalankan setiap tahapan HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Points) sesuai SOP sebagaimana sudah tertera di buku petunjuk teknis BGN sendiri.
Ada lima kunci keamanan pangan yang harus diperhatikan, yaitu menjaga suhu makanan (sejak diangkat dari kompor hingga ke tangan konsumen), menggunakan air dan bahan baku yang aman, menjaga kebersihan, memasak dengan benar, serta memisahkan pangan mentah dan pangan matang.
Faktanya, saat diterima siswa makanan sudah dalam keadaan tidak panas lagi (perlu diingat, suhu 5-60C adalah suhu kritis kontaminasi berkembang biak), masakan masih ada yang belum matang sempurna, bahkan ada buah dalam keadaan setengah busuk. Jauh dari standar aman dan bersih.
Baca juga: Ada Keluhan Sayur Basi di Makan Bergizi Gratis, Ini 4 Faktor Penyebabnya
Mengejar target jumlah penerima MBG rupanya menjadi batu sandungan terhadap kualitas makanan yang tersaji dan penerima manfaat yang tepat sasaran.
Akhirnya di sana sini muncul masalah, ibarat pelari tunggang langgang mengejar garis finish tapi kondisinya babak belur. Belum lagi bicara soal sengkarut pembiayaan yang carut marut.
Berbagai pihak telah memberi banyak rekomendasi, mulai dari anggota DPR hingga koalisi masyarakat sipil.
Bukan untuk melawan pemerintah apalagi menentang program. Tapi demi mengendalikan lebih banyak masalah di masa datang, perlu adanya pembenahan tata kelola.
Pengalihan fokus: dari hanya kejar jumlah penerima manfaat (yang juga banyak salah sasaran), kita perlu prioritaskan segmen populasi yang benar-benar butuh.
Baca juga: Resolusi Hidup Sehat, Idealis Atau Realistis?
Jika SPPG belum siap mengelola dapur untuk ribuan konsumen, mengapa tidak alihkan saja ke pengelola kantin sekolah yang lebih paham kebutuhan anak-anak di wilayahnya, sekaligus memperpendek rantai pasokan makanan sehingga memperkecil risiko basi dan kontaminasi.
Pelibatan dinas kesehatan, puskesmas yang punya unit layanan masyarakat seperti kesehatan lingkungan bisa jadi dukungan kegiatan supervisi, monitoring dan evaluasi.
Pelatihan yang sifatnya gebrakan sesaat yang impulsif terhadap kasus-kasus keracunan bukanlah solusi. Sebab, kembali ke dapur masing-masing dan menjalankan apa yang didapat saat pelatihan butuh pengawasan terus menerus.
Bukan suatu kemunduran untuk berhenti sejenak dan mengevaluasi. Ketimbang hentinya dapur MBG akibat kasus korupsi atau tata kelola amburadul, tanpa solusi apalagi transparansi.
Program raksasa yang memakan dana fantastis ini, bisa menjadi contoh bagaimana suatu niat baik dan mulia bisa terlaksana asal direncanakan tanpa tergesa-gesa.
Semua yang baik harus berada di jalan yang benar. Sebaliknya, semua yang benar harus mempunyai nilai kebaikan.
Baca juga: Kabur Aja Dulu dari Kesesatan Informasi, Kembali ke Tradisi Hidup Sehat
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang